Lihat ke Halaman Asli

Aidhil Pratama

TERVERIFIKASI

ASN | Narablog

Lebih dari Sekedar Pemberontakan, Pajak adalah Kontrak Sosial

Diperbarui: 20 September 2025   17:16

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ilustrasi sejarah pajak masa kerajaan Mataram Kuno: Rakyat memberikan upeti ke kerajaan. (Ilustrasi via chatgpt via Kompas.com)

Gerakan menolak pajak sering diperlakukan seperti kisah kepahlawanan. Versi populernya sederhana saja: rakyat kecil berdiri menghadang penguasa zalim atas nama keadilan.

Terdengar gagah, membakar semangat, dan mudah dijual. Tapi apakah perlawanan pajak sesederhana itu? Apakah motifnya selalu murni dan kolektif?

Kalau kita menengok lebih dalam, jawabannya cenderung tidak. Realitas di lapangan jauh lebih berlapis.

Ini bukan cerita hitam putih. Ada pihak yang menindas, ada juga yang benar-benar tertindas.

Masalahnya, cara pandang yang beredar sering keliru. Semua gerakan antipajak diberi label mulia, padahal bisa saja di belakangnya ada agenda lain.

Tidak sedikit penolakan pajak yang digerakkan elit atau korporasi besar. Tujuannya jelas, menghindari tanggung jawab sosial.

Padahal pajak adalah sumber utama pendapatan negara. Dari sinilah layanan publik yang esensial dibiayai.

Secara fungsi, pajak memegang empat peran penting: anggaran, pengaturan, stabilitas, dan redistribusi pendapatan.

Begitu orang kaya menghindari pajak, rangkaian fungsi ini pincang. Terutama fungsi redistribusi yang bisa jebol total.

Dampaknya terasa pada layanan vital yang macet. Sekolah negeri, rumah sakit umum, juga infrastruktur dasar ikut terpukul.

Yang paling rugi tentu kelompok miskin yang sangat bergantung pada fasilitas publik tersebut (Gramedia, 2022).

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline