Setahun sudah berlalu. Kasus ginjal akut masih meninggalkan luka yang dalam, terutama di hati anak-anak korban.
Keluarga mereka terus menuntut keadilan, menapaki jalur hukum yang panjang dan lambat. Proses itu menambah beban yang sudah berat.
Banyak pihak terseret, tetapi pertanyaannya tetap saja menggantung: siapa yang paling bertanggung jawab? Tragedi ini milik kita semua, sebuah duka nasional.
Di mata publik, telunjuk sering mengarah ke satu pihak. Perusahaan farmasi jadi sasaran utama.
Mereka memproduksi obat sirop yang seharusnya menyembuhkan, tetapi justru berubah menjadi racun mematikan untuk anak-anak. Sulit diterima akal sehat.
Tuntutan hukum menumpuk, amarah masyarakat pun menguat. Wajar bila mereka dianggap paling bersalah, lahir dari duka yang belum reda.
Namun cerita di pengadilan jauh lebih rumit. Perusahaan farmasi membangun pembelaan: mereka tidak membuat bahan bakunya.
Bahan tambahan datang dari pemasok. Ada dugaan pemasok curang, mencampur pelarut industri demi keuntungan besar (CNN Indonesia, 2023).
Jika ini kelak terbukti, maka kesalahannya tidak berhenti pada satu titik. Ini kegagalan berantai yang sistemik, dari importir bahan, distributor, hingga kontrol kualitas di pabrik. Rantai pasok farmasi kita ternyata rapuh, bahkan berbahaya.
Lalu bagaimana peran pemerintah? Kemenkes dan BPOM adalah benteng terakhir untuk kesehatan publik.
Seharusnya mereka bisa mencegah produk berbahaya beredar luas. Mengapa obat beracun bisa lolos dari pengawasan yang mestinya ketat?