Beberapa waktu lalu, publik dibuat heboh oleh langkah oknum anak bangsa dan rekannya yang mendatangi makam ibunda mantan Presiden RI di Sebuah kota di jawa. Kunjungan yang diklaim sebagai "pencarian kebenaran" itu justru menimbulkan gelombang kecaman dan kritik pedas . Banyak yang menilai tindakan tersebut tidak beradab, bahkan melukai rasa kemanusiaan. Sebab, makam tempat keluarga mengenang dan mendoakan yang telah pergitidak seharusnya dijadikan panggung politik balas kelemahan orang.Fenomena ini mencerminkan sesuatu yang lebih dalam: politik kita sedang kehilangan nurani. Dalam budaya yang luhur, menghormati orang tua, terlebih yang sudah wafat, adalah bagian dari moral dasar bangsa. Namun ketika ranah suci seperti makam dijadikan alat provokasi, berarti ada sesuatu yang rusak dalam kesadaran kolektif kita. Kita tak lagi sekadar berdebat soal gagasan, melainkan menyerang sampai ke wilayah yang paling pribadi dan sakral.
Dari Kritik ke Kebencian Peristiwa ini menyingkap pergeseran yang mengkhawatirkan dalam budaya politik Indonesia. Kritik yang seharusnya lahir dari kepedulian, kini berubah menjadi alat pembunuhan karakter. Politik kehilangan orientasi moral karena banyak pelakunya lebih sibuk mencari sensasi ketimbang solusi.Menguliti kehidupan pribadi, menelusuri masa lalu, bahkan menyeret makam orang tua ke ruang debat publik bukanlah tindakan cerdas. Itu justru tanda kemiskinan intelektual dan keringnya empati. Orang boleh berbeda pandangan, tetapi ketika lawan dijadikan objek penghinaan, bangsa ini sedang berjalan mundur.Padahal, bangsa besar tumbuh bukan dari kerasnya suara kritik, melainkan dari cara yang beradab dalam menyampaikannya. Kritik yang sehat berangkat dari data, niat memperbaiki, dan penghormatan terhadap martabat manusia. Kritik yang lahir dari kebencian hanya menambah luka sosial dan memperdalam jurang polarisasi.
Politik Tanpa Akhlak
Kita hidup di zaman ketika popularitas lebih dihargai daripada kebenaran. Banyak yang ingin viral, bukan ingin bijak. Akibatnya, ruang publik kita penuh dengan pertunjukan provokatif bukan argumen rasional.Politik tanpa akhlak seperti ini berbahaya. Ia melahirkan generasi yang mengira keberanian itu identik dengan kebrutalan, dan menganggap penghinaan sebagai bagian dari kebebasan berpendapat. Padahal, kebebasan sejati selalu berjalan bersama tanggung jawab. Tanpa tanggung jawab moral, kebebasan berubah menjadi kebiadaban.Masyarakat kita seharusnya sudah cukup matang untuk membedakan antara kritik dan provokasi, antara niat memperbaiki dengan keinginan mempermalukan. Ziarah yang disalahgunakan untuk kepentingan politik bukan hanya mencederai adab, tetapi juga merusak fondasi kepercayaan publik terhadap nilai-nilai kebenaran itu sendiri.
Media dan Elit Harus Jadi Teladan
Krisis moral ini tak bisa disembuhkan hanya dengan saling menyalahkan. Media dan elit politik harus mengambil peran sebagai penuntun moral publik. Media mesti kembali kepada fungsi mendidik, bukan sekadar mengejar klik dan sensasi. Berita yang mendalam, faktual, dan berimbang jauh lebih berharga daripada sekadar headline yang mengguncang. Para tokoh publik pun wajib menjadi contoh: berani mengkritik, tetapi tetap menghormati. Menggunakan data, bukan kata kasar. Mengedepankan empati, bukan dendam. Sebab, rakyat meniru dari apa yang mereka lihat, bukan dari apa yang mereka dengar. Jika elit berperilaku santun, publik akan belajar menghargai perbedaan.
Bangsa yang Maju Adalah Bangsa yang Beradab
Indonesia sedang berjuang menjadi bangsa maju, bukan hanya dalam ekonomi dan teknologi, tetapi juga dalam moralitas publik. Pembangunan sejati bukan hanya membangun gedung dan jalan, melainkan membangun karakter dan cara berpikir.Mari kita jadikan peristiwa ini sebagai pelajaran. Bangsa yang kuat tidak diukur dari seberapa keras menuding, melainkan dari seberapa besar kemampuannya menahan diri. Tidak ada kemajuan tanpa kesantunan, tidak ada kebenaran tanpa empati.Kita boleh berbeda pendapat, tetapi jangan kehilangan adab. Kita boleh berdebat keras, tetapi jangan melukai yang tak berdaya. Kita boleh mengkritik presiden, pejabat, atau siapa pun, tetapi jangan pernah menodai kemanusiaan.
Bangsa ini akan tumbuh besar bila kita berani berfikir dengan kepala dingin dan berhati bersih. Karena pada akhirnya, politik tanpa nurani hanya akan melahirkan kehancuran moral. Dan dari kehancuran moral, tak pernah lahir kemajuan bangsa.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI