Lihat ke Halaman Asli

Ahmad Gufron

peneliti madya

Jangan biarkan anak jadi fatherless : krisis keteladanan di rumah modern

Diperbarui: 8 Oktober 2025   12:41

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Pendidikan. Sumber ilustrasi: PEXELS/McElspeth

Di tengah kemajuan teknologi dan gaya hidup serba cepat, Indonesia menghadapi krisis sunyi yang jarang dibahas: meningkatnya jumlah anak yang tumbuh tanpa figur ayah, baik secara fisik maupun emosional. Fenomena fatherless ini bukan hanya soal perceraian atau ketidakhadiran biologis, tetapi juga absennya peran ayah dalam mendidik, mengasuh, dan memberi teladan di rumah. Akibatnya, banyak anak kehilangan arah, mengalami gangguan kepribadian, hingga mudah terpengaruh oleh budaya instan yang dangkal.Hal ini perlu di waspadai.

Ayah yang Hadir Tapi Tak Menyapa

Banyak ayah di era digital hadir secara fisik di rumah, namun jiwanya terserap di layar gawai dan rutinitas kerja. Mereka tidak benar-benar hadir. Anak-anak mungkin duduk di pangkuan, tapi komunikasi terputus. Mereka lebih banyak belajar dari influencer, bukan dari figur ayah yang seharusnya menjadi guru kehidupan.

Kondisi ini berbahaya. Penelitian dari The Fatherhood Institute di Inggris menunjukkan bahwa keterlibatan ayah secara aktif menurunkan risiko depresi, kenakalan remaja, dan kecanduan media sosial pada anak hingga 40%. Sebaliknya, ketidakhadiran ayah sering kali dikaitkan dengan rendahnya empati, kesulitan disiplin, dan minimnya orientasi tanggung jawab.Sayangnya, banyak ayah modern terperangkap dalam paradoks: bekerja keras demi keluarga, namun kehilangan makna kehadirannya dalam keluarga itu sendiri.

Krisis Keteladanan di Rumah

Krisis fatherless sesungguhnya adalah krisis keteladanan. Dalam masyarakat tradisional, ayah menjadi simbol integritas dan arah moral: mengajarkan kejujuran, kerja keras, dan keberanian mengambil keputusan. Kini, banyak anak tumbuh tanpa mendengar kalimat sederhana dari ayahnya seperti "Ayah bangga padamu" atau "Mari kita hadapi masalah ini bersama."

Sebagian anak laki-laki kehilangan contoh bagaimana menjadi laki-laki sejati yang lembut tapi tegas, rasional tapi penuh kasih. Anak perempuan pun kehilangan figur ayah yang membentuk citra positif tentang laki-laki dan perlindungan diri. Akibatnya, banyak yang tumbuh mencari validasi di luar, rentan terhadap hubungan yang tidak sehat, atau terjebak dalam pencarian jati diri yang rapuh.maka disinilah pentingnya sosok ayah yang perlu memberi peran penting.

Budaya Kerja dan Maskulinitas yang Salah Kaprah

Ada pula faktor budaya yang memperparah. Banyak ayah menganggap tugas utama mereka hanya mencari nafkah, bukan membangun jiwa keluarga. Pandangan ini diwariskan turun-temurun, seolah urusan emosional dan pendidikan anak adalah ranah ibu semata. Padahal, Islam maupun budaya Nusantara sama-sama mengajarkan keseimbangan peran.Rasulullah SAW, misalnya, dikenal sebagai sosok yang lembut pada anak-anak. Beliau memanggul cucunya di pundak, menyapa dengan kasih, bahkan menunda salat ketika melihat anak kecil menangis. Keteladanan ini menunjukkan bahwa kehadiran ayah bukan tanda kelemahan, melainkan puncak kematangan spiritual.Dalam konteks modern, redefinisi maskulinitas perlu digerakkan. Ayah bukan hanya pencari nafkah, tetapi penjaga nilai. Ketegasan tidak identik dengan jarak emosional, dan kelembutan bukan tanda lemah. Inilah bentuk kekuatan baru yang harus dihidupkan.

Dampak Sosial: Dari Rumah ke Bangsa

Fenomena fatherless bukan sekadar masalah keluarga, tapi masalah nasional. Generasi tanpa ayah berpotensi menjadi generasi tanpa arah. Anak yang tidak pernah mendapatkan validasi positif dari ayahnya lebih mudah marah, cenderung ekstrem, dan sulit membangun empati sosial. Dari sinilah muncul benih kekerasan, kriminalitas, hingga perilaku anarkis yang kita lihat di jalanan atau media sosial.Negara membutuhkan warganya yang kuat secara moral dan emosional, dan itu hanya bisa dibangun dari rumah yang sehat. Bila keluarga adalah unit terkecil bangsa, maka ayah adalah kompas moralnya. Tanpa kompas itu, bangsa mudah kehilangan arah dalam lautan perubahan.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline