Kita hidup di era di mana setiap orang bisa menulis dan membagikan pikirannya hanya dengan satu sentuhan layar. Media sosial telah menjadi buku harian publik, tempat ide-ide berseliweran tanpa batas. Namun, justru di tengah derasnya arus tulisan ini, kemampuan menulis yang benar-benar berkualitas semakin diuji. Tidak semua tulisan mampu bertahan lama, apalagi memberi dampak.
Generasi digital menghadapi tantangan unik. Bukan lagi soal keterampilan teknis mengetik atau menggunakan aplikasi, melainkan bagaimana mengolah gagasan agar bisa memikat, bernilai, sekaligus bertanggung jawab. Di balik mudahnya membagikan konten, seringkali abai terhadap akurasi data, etika bahasa, bahkan orisinalitas. Akhirnya, kita lebih sering menjumpai konten yang sekadar viral, namun miskin makna.
Menulis di era ini tidak bisa hanya mengandalkan spontanitas. Ia menuntut kesadaran kritis tentang bagaimana sebuah tulisan mampu memberi arah, bukan sekadar mengisi ruang. Tulisan yang baik bukan hanya menghibur, tetapi juga menanamkan wawasan, menggugah refleksi, dan kadang memantik perubahan. Dengan begitu, tulisan tidak berhenti pada layar, melainkan hidup di pikiran dan tindakan pembacanya.
Kesadaran ini yang perlu terus dibangun, terutama bagi generasi muda yang menjadi motor utama produksi konten hari ini. Menulis seharusnya bukan sekadar tren, melainkan jalan untuk meninggalkan jejak. Sebab pada akhirnya, tulisan yang bernilai tidak diukur dari berapa banyak ia dibaca hari ini, tetapi seberapa lama ia tetap dikenang di masa depan.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI