Gerakan Seribu Rupiah Sehari
Beberapa waktu lalu, Gubernur Jawa Barat menggagas gerakan donasi Rp 1.000 per hari. Melalui surat edaran resmi, warga diajak menyumbang secara sukarela untuk membantu kebutuhan sosial, terutama di bidang pendidikan dan kesehatan.
Gerakan ini mengundang banyak tanggapan: ada yang memuji semangat gotong royongnya, ada pula yang mengkritik soal mekanisme dan transparansi. Namun bagi saya, gagasan itu justru mengingatkan pada sesuatu yang lebih tua, lebih alami, dan lebih membumi berupa tradisi yang sudah hidup jauh sebelum rekening Bank BJB dibuka.
Namanya Beas Perelek.
Tradisi di Kampung Cisalak
Sejak saya kecil, Beas Perelek sudah menjadi bagian dari kehidupan di kampung saya, Cisalak, Subang bagian selatan. Tradisi ini begitu sederhana: setiap ibu rumah tangga menyisihkan satu sendok beras setiap kali memasak nasi, lalu memasukkannya ke dalam celengan bambu yang tergantung di depan rumah.
Celengan itu biasanya berupa potongan bambu dengan tutup dari tempurung kelapa. Tak ada aturan kaku. Siapa pun boleh menyumbang, sebanyak apa pun yang bisa. Jika dalam sehari memasak dua kali, berarti dua sendok beras tersimpan.
Setiap beberapa hari, ada petugas kampung yang berkeliling mengumpulkan beras-beras itu dari rumah ke rumah. Hasilnya tidak seberapa, tapi cukup untuk menjadi kas kampung. Biasanya dipakai untuk kegiatan sosial: membantu warga yang sakit, menyambut hari besar agama, atau memeriahkan 17 Agustusan.
Saya masih ingat suasananya. Ketika petugas datang, ibu-ibu menyambut dengan ramah. Ada suara bambu diketuk di pagar, aroma nasi yang baru matang, dan senyum hangat dari dapur. Semua dilakukan dengan ikhlas, tanpa laporan, tanpa formalitas.
Makna yang Lebih Dalam