Lihat ke Halaman Asli

Afen Sena

Dr, IAP, FRAeS

Insinuasi: Ketika Sindiran Jadi Bahasa Kebiasaan

Diperbarui: 28 Juni 2025   02:25

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Quote  KH. Abdurrahman Wahid  (Gus Dur)

Pernahkah Anda merasa disindir, tapi tidak disebut langsung? Mungkin di grup keluarga, mungkin lewat unggahan story teman, atau bahkan di ruang kerja. Kalimat yang terdengar biasa, tapi sarat makna tersembunyi. Tidak frontal, tapi menohok. Itulah insinuasi --- seni menyampaikan sesuatu tanpa menyebutkan secara langsung, tetapi cukup membuat yang dituju merasa "kena".

Dalam kehidupan sosial kita, insinuasi sudah menjadi bagian dari komunikasi sehari-hari. Kadang berupa sindiran halus, kadang seperti angin lalu yang membawa pesan tak terucap. Ia bisa hadir dalam bentuk celetukan, komentar ringan, bahkan doa berjubah keluhan.

Misalnya, seseorang menulis di media sosial:

"Zaman sekarang, banyak orang pintar tapi lupa sopan santun."
Terdengar umum, tapi siapa yang dimaksud? Bisa jadi teman satu circle, bisa juga seseorang yang baru saja berselisih paham dengannya.

Seni Komunikasi atau Senjata Sosial?
Insinuasi bisa menjadi alat komunikasi yang cerdas, terutama ketika digunakan untuk menghindari konflik langsung. Namun, di sisi lain, ia juga bisa menjadi bentuk agresi pasif --- menyerang tanpa terlihat menyerang. Ia menuntut penerima untuk "paham sendiri", dan di situlah masalah muncul: tidak semua orang ingin atau mampu membaca maksud tersirat.

Dalam budaya kita yang menjunjung tinggi kesantunan, insinuasi menjadi "jalan tengah". Tidak frontal, tapi tetap menyampaikan rasa tidak setuju, kesal, atau bahkan kritik. Namun semakin ke sini, apalagi di era digital, insinuasi justru sering menjadi tameng untuk menghindari tanggung jawab atas ucapan.

"Lho, saya nggak nyebut nama, kok," adalah kalimat pembelaan yang sering muncul ketika seseorang ditegur atas unggahan atau ucapannya.

Mengapa Kita Suka Menyindir?
Banyak alasan mengapa insinuasi menjadi pilihan. Salah satunya adalah keengganan untuk berkonfrontasi langsung. Budaya timur kita sering menilai terus terang sebagai kasar. Akhirnya, sindiran menjadi "kode halus" yang diharapkan bisa dipahami lawan bicara.

Namun, tidak semua orang memahami kode yang sama. Apa yang dimaksud sebagai sindiran halus bisa dianggap sebagai fitnah samar. Bahkan bisa memicu konflik lebih besar karena mengundang banyak tafsir.

Refleksi Diri: Jujur Tapi Bijak
Mungkin sudah saatnya kita menimbang kembali: apakah insinuasi masih perlu jadi alat komunikasi utama? Atau kita mulai belajar untuk menyampaikan maksud secara langsung, tapi tetap dengan bahasa yang santun dan empatik?

Berbicara jujur tidak harus menyakitkan. Mengungkapkan ketidaknyamanan tidak harus lewat sindiran. Karena dunia ini sudah cukup rumit, jangan kita tambah dengan permainan kata yang membingungkan dan menyakiti diam-diam.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline