Lihat ke Halaman Asli

Adriyanto M

Menyimak Getar Zaman, Menyulam Harapan

[FULL NOVEL] PENDHARAKA: Fantastic Four Nusantara - Bab 4

Diperbarui: 20 Juni 2025   09:51

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Buku Novel Superhero Indonesia: "PENDHARAKA: Fantastic Four Nusantara"

Bab 4: Tirta dan Laut yang Murka

Sebelum lanjut, sudah baca Prolog, Bab 1, Bab 2, dan Bab 3 belum?

Jika suka dengan cerita ini, jangan sungkan like dan comment, akan sangat berarti bagi tim penulis.

Pelabuhan Ratu, sebuah desa nelayan yang berhadapan langsung dengan Samudra Hindia yang ganas, adalah tempat di mana garis antara kehidupan dan kematian setipis buih ombak yang pecah di pantai. Di sini, laut adalah segalanya: sumber penghidupan, ladang cerita, sekaligus kuburan bagi mereka yang kurang beruntung. Tirta, pemuda sembilan belas tahun yang pendiam dan gemar merenung, mengenal laut lebih baik dari siapa pun. Ia adalah seorang nelayan, dan baginya, laut adalah napas, sahabat, sekaligus cermin bagi jiwanya yang seringkali bergejolak dalam diam.

Namun, persahabatannya dengan laut justru menjadi sumber pengucilannya. Beberapa bulan lalu, kapal yang ia tumpangi bersama nelayan-nelayan lain dihantam badai dahsyat. Hanya Tirta yang selamat, ditemukan terdampar di pantai keesokan harinya, tanpa luka sedikit pun, sementara yang lain lenyap ditelan ombak. Sejak saat itu, bisik-bisik mulai terdengar. Ia dituduh sebagai "pembawa sial", bahkan ada yang menyebutnya "anak setan" karena kemampuannya bertahan hidup dari amukan laut yang mustahil bagi manusia biasa. Para nelayan lain menjauhinya, perahu-perahu enggan membawanya melaut, dan tatapan curiga selalu mengikutinya ke mana pun ia pergi.

Pagi itu, Tirta duduk sendirian di atas sebuah batu karang besar, memandang gulungan ombak yang tak pernah lelah menghantam pantai. Pikirannya melayang, mencoba memahami mengapa laut yang begitu ia cintai justru memberinya cap yang begitu menakutkan di mata sesamanya. Apakah ia memang berbeda? Apakah ada sesuatu dalam dirinya yang tak ia pahami, sesuatu yang terhubung dengan kekuatan tak kasat mata dari samudra yang luas ini?

Lamunannya terganggu oleh suara riuh rendah dari arah dermaga utama. Beberapa serdadu VOC, dengan sikap angkuh seperti biasa, sedang mengawasi pembongkaran kargo dari sebuah kapal layar kecil milik Kompeni. Tak lama kemudian, Tirta melihat mereka melakukan sesuatu yang membuat darahnya seketika mendidih. Para serdadu itu, dengan seenaknya, mulai membuang sisa-sisa amunisi dan limbah meriam ke laut. Tong-tong kosong, serpihan logam berkarat, dan cairan hitam pekat yang berbau menyengat dilemparkan begitu saja ke air biru yang jernih, meninggalkan jejak kotoran yang menjijikkan.

Bagi Tirta, laut adalah entitas yang hidup, suci. Mencemarinya sama saja dengan melukai ibunya sendiri. Ia merasakan getaran aneh di dalam dirinya, sebuah kemarahan dingin yang menjalar dari ujung kaki hingga ubun-ubun. Ia bisa merasakan laut seolah menjerit dalam diam, terluka oleh perlakuan semena-mena itu.

"Hentikan!" Suara Tirta, yang biasanya pelan dan penuh pertimbangan, kini terdengar serak dan bergetar karena amarah yang tertahan. Ia bangkit dan berjalan mendekati para serdadu itu.

Seorang sersan Belanda berpaling, menatap Tirta dengan pandangan meremehkan. "Apa katamu, bocah aneh? Berani memerintah kami?"

"Jangan cemari laut kami!" ulang Tirta, matanya menatap tajam ke arah sersan itu. "Laut ini memberi kami hidup, bukan tempat sampah kalian!"

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline