Lihat ke Halaman Asli

Adrian Chandra Faradhipta

TERVERIFIKASI

Menggelitik cakrawala berpikir, menyentuh nurani yang berdesir

Patgulipat Kasus Djoko Tjandra, Cermin Bobroknya Penegakan Hukum di Indonesia

Diperbarui: 13 Agustus 2020   09:50

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ilustrasi. Sumber; kompastv

Kasus Djoko Tjandra kembali menyeret nama aparatur penegak hukum di Indonesia. Terakhir adalah Jaksa Pinangki Sirna Malasari yang resmi ditetapkan sebagai tersangka karena telah ditemukan bukti permulaan yang cukup terlibat dalam pelarian taipan Djoko Tjandra. Tidak tanggung-tanggung dia diduga menerima uang sekitar 7 miliar rupiah dari Djoko Tjandra.

Ini adalah rangkaian ketiga setelah tiga jenderal polisi dicopot dari jabatannya dan disusul dengan ditahannya pengacara Djoko Tjandra, Anita Kolopaking. Diyakini semakin banyak aparatur penegak hukum di Indonesia yang akan terseret dalam lingkaran kasus pelarian Djoko Tjandra.

Terungkapnya keterlibatan aparatur penegak hukum ini juga seolah makin mempertegas wajah muram dan bobroknya penegakan hukum di Indonesia. Bayangkan tiga jenderal di kepolisian diduga kuat terlibat dalam pelarian Djoko Tjandra selama 11 tahun ditambah pengacaranya sendiri dan seorang jaksa.

Ini sejatinya hanya contoh kecil seperti fenomena gunung es dari banyaknya kongkalikong para aparatur penegak hukum di Indonesia dengan para pelaku tindak pidana korupsi dan kasus-kasus lainnya.

Motif finansial dengan jaminan sejumlah besar uang dan juga fasilitas lain yang diberikan membuat mereka mudah tergoda dan menggadaikan integritasnya kepada negara.

Contoh kasus yang mencerminkan bobroknya penegakan hukum di Indonesia adalah baru-baru ini ketika korban pemerkosaan Bintaro yang mengungkapan ceritanya di Instagram bersama dengan unggahan foto pelaku pemerkosaannya yang tertangkap CCTV. 

Dia menyampaikan bahwa hal ini terpaksa dia lakukan, karena kepolisian terkesan memendam kasus ini bahkan sempat mengatakan bahwa kasusnya tidak dapat diproses karena kurangnya bukti. 

Sebagai aparat penegak hukum apakah mereka setidaknya berusaha optimal untuk mengusut ini? Hanya karena viral di media sosial barulah mereka bertindak untuk kembali mengejar pelaku pemerkosaan?

Cerita lain seperti kasus Novel Baswedan yang bertahun-tahun diusut tanpa kejelasan dan akhirnya menangkap terduga "pelaku" walau masih banyak dilingkupi misteri tentang dugaan keterlibatan pejabat di kepolisian otak penyiraman air keras Novel Baswedan. 

Logika yang aneh ketika untuk kasus terorisme ataupun kasus-kasus lainnya kepolisian bisa dengan cepat mencari informasi bahkan menangkap pelakunya, namun untuk kasus Novel ini terkesan lamban dan banyak yang ditutup-tutupi.

Paling memalukan tentu kita ingat kasus Hakim Akil Mochtar, mantan Ketua Mahkamah Konstitusi yang merupakan lembaga peradilan konstitusi di negeri ini akhirnya dijatuhi hukuman seumur hidup atas kasus menerima suap atas pengurusan sengketa pemilihan kepala daerah. 

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline