Lihat ke Halaman Asli

Kematian Etika dalam Berebut Kursi Perguruan Tinggi: Kalahnya Si Miskin

Diperbarui: 24 Juni 2015   02:57

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Gadget. Sumber ilustrasi: PEXELS/ThisIsEngineering

Seorang calon mahasiswa, hitunglah berusia 19 tahun, kehilangan antusiasmenya pada suatu pagi menjelang siang. Padahal malamnya ia cukup gembira. Diterima di suatu PTN world class university, siapa yang tak bangga. Meski sejak jauh-jauh hari ia ragu “apakah sanggup”, ia berusaha tetap semangat. Bahkan malam itu juga, mengambil sebagian tabungannya, ia bergegas mencari tiket kendaraan apapun yang bisa ke kota dimana PTN tersebut berada. Seberapapun mahalnya, meski seperti memaksa. Tapi pagi menjelang siang itu, dia kelu. Dia sulit mendapat kepastian bagaimana meringankan beban biaya kuliahnya.

“Ah begitu saja koq gampang menyerah,” kata camaba (calon mahasiswa baru) yang juga lolos. “Kita buktikan saja apakah ini kampus bisa adil atau bukan, harusnya disubsidi bukan,” kata camaba lain yang mendengar bisik-bisik. “Tapi kok dia tidak menabung kalau tahu kampus itu mahal,” kata camaba berlagak pemberi petuah. “Saya percaya beasiswa harusnya bisa dia dapat sih,” kata yang lain. “Barangkali orangtuanya tidak bisa mengukur diri pendapatan, memaksakan dia berkuliah,” kata yang lain.

Ya, kebetulan si calon mahasiswa anak petani. Atau takdirnya, bukan kebetulan.

Camaba kurang mampu ini telah mencoba berebut kuota kursi yang direbutkan ratusan ribu orang, yang kadang secara berlebih diTuhan-Kan dalam bimbel-bimbel intensif. Apalah daya si camaba untuk biayai bimbel. Tentu tidak. Dia hanya kebetulan, atau ditakdirkan (pula), punya kepintaran amat besar. dan dia, lolos dalam berebut kuota. Dia tidak merasa menuhankan kuota tersebut, tapi dia sadar hak-nya berhasil dia raih. Minimal, setengah hak-nya.

Dengan tarif yang tak bisa ditawar, ia, kepintarannya, seolah dinodai dengan fakta, bahwa lolosnya ia hanya “setengah hak”. Setengah hak lain harus ditebus biaya yang tak main-main, dan lagi tak bisa ditawar.

Dan benar: dia melepas hak-nya, setengah haknya yang sudah susah payah didapat, dan lebih memilih memacul. Entah tanah apa yang akan dipacul jika tanah keluarganya tinggal sepetak sawah. Sementara setengah hak-nya itu kini berkembang menjadi “satu kursi utuh”, yang harganya bisa ditebus tidak main-main pada penawar: ratusan juta, mungkin.

“Kasihan,” kata sebagian orang. “Kok sampai begitu,” kata sebagian yang lain. “Tapi kok dia biarkan lepas begitu saja,” kata yang lain. “Dan BEM jangan membesar-besarkan perkara ini,” kata yang lain.

Apa yang besar sebenarnya? Apa yang kecil? Satu dari seribuan calon mahasiswa gagal kuliah karena melepas haknya bisa jadi soal kecil dibanding dua-empat puluh ribu yang lolos ke berbagai PTN. Seorang dari ribu orang yang kehilangan kehormatannya mengenyam pendidikan di tempat yang katanya “paling terhormat di salah satu PTN terbaik”, ya, hilang. Penderitaan manusia adalah ombak yang tak bisa dielakkan ….

Penderitaan manusia?

Beberapa kali camaba ini berpikir bunuh diri, karena ia malu kepada keluarganya. Ia seolah bicara kepada keluarganya: “Ibu aku salah. Ayah aku salah. Aku sudah tidak bisa mengangkat derajat keluarga kita, aku lebih suka memacul yang sudah pasti dibanding berkuliah. Tapi aku malu, seorang yang bisa lolos ke kampus malah memacul. Aku malu dilihat teman-temanku.”

Apa yang kecil sebenarnya? Apa yang besar?

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline