Beberapa waktu lalu saya mendengar istilah baru dari seorang teman. "aura farming." Awalnya terdengar seperti istilah dari gim atau semacam teknik meditasi alternatif. Tapi ternyata ini lebih dekat ke dunia nyata dari yang saya kira.
Aura farming adalah istilah yang digunakan untuk menggambarkan perilaku orang-orang, terutama di media sosial, yang membangun citra tertentu untuk panen validasi. Bukan sekadar personal branding, tapi lebih ekstrem: membentuk persona palsu demi engagement, simpati, atau popularitas. Mereka memanen aura, kesan diri yang sudah mereka rancang sendiri.
Contohnya?
Orang yang memamerkan kebaikan secara berlebihan di Tiktok, seolah hidupnya penuh amal dan kasih sayang. Atau mereka yang mendadak religius setiap ada isu sensitif, padahal diluar kamera, mungkin sama sekali tidak mencerminkan hal itu. Lebih parah, ada yang pura-pura sedih, patah hati, atau kesepian, hanya agar terlihat relatable. Semua demi satu hal: perhatian.
Tentu, tak ada yang salah dengan ingin terlihat baik. Masalahnya muncul ketika citra itu menggantikan kejujuran. Ketika seseorang mulai kehilangan dirinya sendiri demi menjaga persona yang sudah terlanjur dibentuk. Ketika kebaikan jadi panggung, bukan pilihan moral.
Saya pernah hampir terjebak disana. Dalam dunia menulis, saya sempat merasa harus terlihat bijak, dewasa, dan 'berisi'. Padahal kenyataannya, saya juga sering marah, malas, bahkan sesekali kehilangan arah. Tapi media sosial memberi ilusi bahwa kita harus selalu jadi versi terbaik, atau setidaknya, terlihat seperti itu.
Aura farming bukan cuma persoalan etika digital, tapi juga persoalan kesehatan mental. Banyak orang akhirnya hidup dalam tekanan untuk mempertahankan kesan, bukan kenyataan. Dan sayangnya, kita semua menjadi penonton sekaligus pelaku. Kita tepuk tangan untuk kepalsuan, selama tampilannya menarik.
Lalu, siapa yang salah?
Mungkin bukan siapa-siapa. Mungkin ini memang risiko zaman. Ketika algoritma lebih menghargai drama daripada kejujuran, ketika emosi dijadikan komoditas, dan ketika kita lebih takut tak terlihat, daripada kehilangan integritas.
Tapi kita masih punya pilihan. Untuk menjadi sedikit lebih jujur. Untuk berbagi tanpa manipulasi. Untuk tampil apa adanya meski tak viral.
Karena ujung-ujungnya, yang paling melelahkan dari hidup bukanlah kerja keras, tapi berpura-pura terus-menerus hanya agar disukai.