Lihat ke Halaman Asli

Achmad Saifullah Syahid

TERVERIFIKASI

Penulis

[Mripat 07] Dongeng yang Dimuseumkan

Diperbarui: 28 April 2016   13:02

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ilustrasi: Alm. Mbah Masmundari (antropologifoto.blogspot.com)

Dongeng. Ada apa dengan dongeng? Mengapa dongeng menjadi semacam barang purba? Sedemikian tahayulkah sebuah dongeng sehingga ia akan mengotori akidah?

Para ayah dan ibu masihkah setia mendongengkan kisah Joko Bodho, Kancil dan Nabi Sulaiman, Joko Kendil? Ada yang masih ingat kisah Kinjeng-Dom, Ande-Ande Lumut, Aji Saka? Itu semua memang bukan kisah kontemporer. Dongeng teramat sederhana. Hidup di tengah dinamika masyarakat dusun yang juga sederhana. Dihiasi kearifan lokal gaya hidup nan sederhana.

Dongeng mengandung muatan keteladanan, ketangguhan, kemuliaan akhlak manusia, kebersamaan hidup, dan banyak lagi muatan cahaya di dalamnya. Ketika dongeng dibabar terdapat suasana mistis menyelubungi alur dialektikanya.

Sang pendongeng biasanya para sesepuh atau sosok yang dituakan. Ia bukan sekedar mendongeng, menceritakan kisah demi kisah, menggiring imajinasi pendengar menuju alam dongeng yang misterius. Dongeng menampilkan dirinya melalui hidup sang pendongeng. Suasana misterius menambah kesakralan. Substansi muatan yang terkandung di dalam kisah dongeng dan aura sang pendongeng menyatu dalam totalitas laku hidup.

Pendongeng jaman dulu sesungguhnya sedang mentransformasi muatan-muatan kehidupan khas pengalaman hidupnya. Sang pendongeng bukan pakar dongeng – ia adalah pelaku kehidupan.

Ya. Sang pendongeng adalah salikin. Orang yang sedang menempuh jalan kehidupan. Memetik buah kebijaksanaan hidup. Ia pribadi yang otentik dengan muatan-muatan hikmah. Apabila ia mendongengkan kisah kejujuran seluruh perilakunya membuktikannya sebagai manusia jujur.

Maka, sang pendongeng itu bisa siapa saja dan bekerja apa saja. Warga dusun tidak mempermasalahkannya. Meskipun sang pendongeng adalah tukang cari kayu dan ajeg memproses diri menjadi manusia yang bermartabat, maka tutur katanya, perilakunya, dan seluruh hidupnya adalah dongeng itu sendiri. Mbah Tukang Cari Kayu mendongengkan hidupnya.

Siapa penikmat dongeng itu? Anak-anak yang hidupnya mulai bersentuhan dengan mushola, langgar, atau masjid. Anak-anak yang membuat kesepakatan secara tidak tertulis: laki-laki adalah mereka yang tidak mbok-mboken. Berani tidur di mushola pada malam hari. Kehidupan malam hari setelah maghrib adalah kehidupan sastrawi. Dongeng dan sastra lisan menghiasi malam-malam yang indah. 

Suasana yang mustahil ditemukan anak zaman sekarang. Bagaimana tidak? Setelah isya pintu-pintu masjid dikunci. Bermain di halaman masjid pun akan berhadapan dengan Bapak Takmir.

Dan kita memakluminya dengan sikap berpikir manusia modern. Serba terkotak-kotak. Bahkan dongeng pun dimasukkan ke dalam kotak tradisional, khayalan, mistis, tahayul. Dongeng tidak lulus tes untuk menjadi bagian dari ilmu sejarah persekolahan. Ilmu sejarah adalah fakta yang harus memenuhi standar akademis ilmiah.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline