Lihat ke Halaman Asli

Achi Hartoyo

https://achihartoyo.id

Dari Ritual Menuju Spiritual

Diperbarui: 30 April 2025   10:26

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Foto by Pexels

Saya tidak tumbuh sebagai seseorang yang fasih dalam agama. Tidak pula berasal dari keluarga yang kental dengan tradisi keislaman yang taat. Ajaran agama saya kenal secara bertahap, sepotong demi sepotong, kadang dari teman, kadang dari pengalaman hidup yang menampar. Saya lebih banyak menjadi pengamat, penyimak, dan perenung. Dan dari ruang keterbatasan itulah, saya mencoba memahami agama bukan sebagai beban yang harus saya hapal, tapi cahaya yang perlahan-lahan saya dekati.

Di masa lalu, saya pernah merasa malu. Malu karena tidak tahu banyak tentang doa-doa, tentang fiqih, tentang hukum ini dan itu. Tapi seiring waktu, saya menyadari bahwa rasa malu itu bukan untuk membuat saya menjauh. Justru rasa itu bisa menjadi pintu untuk membuka ruang keberanian: untuk bertanya, untuk mencari, untuk berjalan pelan-pelan tanpa perlu membandingkan langkah saya dengan orang lain. Karena saya percaya, setiap jiwa punya kecepatannya sendiri.

Saya tidak menulis ini untuk menasihati siapa pun. Tidak juga merasa telah sampai. Ini hanyalah catatan kecil perjalanan saya yang masih tertatih, dalam usaha mengenal Tuhan. Saya menulis ini sebagai ruang refleksi, semacam pengingat untuk diri sendiri, bahwa jalan menuju surga itu banyak. Bahwa dalam Al-Qur'an, ada banyak jalur menuju kebaikan. Dan saya memilih jalur yang saya sanggupi, yang terasa paling dekat dengan hati.

Menjadi Hadir dalam Ibadah, Bukan Sekadar Menggugurkan Tugas

Dulu saya sering merasa lega setiap kali selesai salat. Tapi bukan karena hatinya tenang, melainkan karena tugasnya sudah beres. Seperti mencentang daftar kewajiban. Lama-lama saya bertanya: apa yang sebenarnya saya rasakan saat salat? Kenapa terasa kosong? Kenapa seperti terburu-buru ingin selesai?

Dari pertanyaan itulah, saya mulai belajar untuk hadir. Hadir bukan hanya secara fisik, tapi batin juga ikut menyusul. Saya mulai memperlambat gerak, menahan sejenak di tiap sujud, membiarkan hati berbicara lebih lama dalam diam. Kadang tetap kosong, kadang penuh air mata. Tapi saya tahu, saya mulai masuk ke dalam.

Saya belajar bahwa Tuhan tidak menuntut saya sempurna, tapi hadir. Karena kehadiran itulah bentuk cinta yang paling jujur. Dan kalaupun salat saya masih jauh dari khusyuk, setidaknya saya tidak lagi membohongi diri dengan kecepatan dan hafalan yang tergesa-gesa.

Mengenal Tuhan Lewat Rasa, Bukan Hanya Kata-kata

Saya pernah merasa jauh dari Tuhan karena tidak hafal banyak doa. Karena saya tidak tahu kalimat-kalimat Arab yang indah, atau bacaan wirid yang panjang. Tapi suatu hari, dalam keadaan yang sangat hancur, saya hanya mampu berkata lirih, "Ya Allah, tolong saya." Dan ajaibnya, itu cukup.

Dari situ saya belajar bahwa Tuhan tidak menilai seindah apa kata yang kita ucapkan, tapi sejujur apa rasa yang kita sampaikan. Tangis tanpa kata bisa lebih nyaring di langit daripada zikir yang diucap tanpa rasa. Tuhan itu dekat, bahkan sebelum kita sempat menyebut-Nya.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline