Lihat ke Halaman Asli

Menua Bersama di Kaki Gumuk

Diperbarui: 24 Juni 2015   03:29

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

1387997575842239780

Di Puncak Gumuk - Dokumentasi Pribadi

Pada 25 Desember 2013 sore hari, saya mengajak istri jalan-jalan ke Kalisat, Jember Utara. Di sini kami mengunjungi beberapa gumuk, dua diantaranya sempat terdaki. Salah satu dari gumuk itu dimanfaatkan sebagai tempat pemakaman sedulur Chinese Indonesian. Jalan menuju ke puncak tertata rapi dan berpaving. Dari puncak, kita bisa memandang Taman Makam Pahlawan Kalisat yang berada tepat di bawah gumuk, anak-anak kecil yang bermain bola di samping TMP, dan juga Gunung Argopuro di kejauhan sana. "Indah ya Mas," ujar istri saya. Iya, indah sekali. Hawanya segar. Yang lebih terasa indah, fungsi gumuk sebagai pemecah angin, serapan air, ruang hidup keanekaragaman hayati, dan sebagainya, masih terjaga. Ketika sedang asyik-asyiknya menikmati keindahan, ada kereta api lewat, jurusan Banyuwangi. Saya sibuk merogoh hape di saku, ingin lekas-lekas memotretnya. Sayangnya saya kalah cepat. Ingat kereta api, ingat pula kisah Cak Har. Tadinya, Belanda hendak membuat terowongan kereta yang membelah Gumuk Marada (Sumber Jeruk - Kalisat), tapi urung sebab setelah dicoba membuat galian di sana, tidak berhasil. Entah apa penyebabnya, saya sendiri tidak tahu. Cak Har lebih banyak menceritakan sesuatu yang di luar logika. Kisah itu dia dapat dari Bapaknya, Bapaknya menerima kisah itu dari Kakek Cak Har. Saya tidak percaya, tapi tetap mencatat semua itu di sebuah notes kecil. Kini jalur kereta api bergerak memutari Gumuk Marada. Saya pernah mendaki Marada dan menanti datangnya kereta. Benar, ketika kereta api lewat, saya terpukau. Indah sekali menatap kereta yang bergerak meliuk dari ketinggian. "Di awal 1900an, Belanda menggunakan dinamit untuk meledakkan lereng-lereng gumuk untuk dijadikan jalur kereta api." Itu kata Nendes, adik saya di pencinta alam yang sedang melakukan riset observasi Gumuk di Jember. Dia menemukan data-data itu dari koran jaman Hindia Belanda. Tadi sore Nendes juga ikut saya jalan-jalan, bersama Leker dan FranQie. Pukul empat sore, perut saya dangdutan. Lapar. Saya memutuskan untuk turun, menuju warung Mbah Wa, yang berada tepat di kaki gumuk yang tidak ada namanya. Lokasinya ada di dusun Grugul, berbatasan langsung dengan dusun Patempuran dan dusun Sumber Kalong, Kalisat. Di atas gumuk ini, ada makam Buyut Madin (beberap orang menyebutnya Buyut Madrin). Ia dipercaya sebagai pembabat dusun Grugul desa Sukoreno, Kalisat. Saya sempatkan juga untuk ke makam Buyut Madin, ditemani Leker dan Nendes. Selanjutnya.. Seturun dari puncak gumuk yang dekat Taman Makam Pahlawan Kalisat, kami bergeser ke warung Kakek dan Nenek Wa. Model warungnya sederhana, seperti warung-warung di sinetron tivi swasta yang berlatar belakang masa kerajaan. Dapur warung ini 'Mbah' Wa berbatasan langsung dengan gumuk (yang juga tidak ada namanya). Pantas jika sumur dan sungai kecil di sana airnya terasa segar, jauh lebih segar dibanding air kemasan.

13879981791420768889

Nenek Buana a.k.a Nenek Wa

Kata Nenek Wa (yang memiliki nama asli Buana, dan yang tidak tahu hari lahirnya), di atas gumuk itu ada makam yang sudah diberi cungkup (semacam rumah kecil). Makam itu biasanya ramai dikunjungi dan dibersihkan rame-rame oleh warga ketika menjelang Idul Fitri. Terkadang, ada juga satu dua orang yang berkunjung ke makam tersebut karena ingin berdoa di sana. Begitu kata Nenek. "Itu makamnya Buyut Madin Nak, yang mbabat dusun Grugul dan sekitarnya," ujar Nenek Wa. Sembari menyiapkan kopi dan makanan untuk kami, Nenek aktif bercerita tentang gumuk di belakang warungnya. "Boleh saya naik ke atas gumuk, Nek?" Demi mendengar itu, Nenek Wa tersenyum mengiyakan. Begitulah selanjutnya. Seusai makan, saya melangkahkan kaki menuju makam Buyut Madin (sebagian ada yang menyebutnya gumuk Madrin), ditemani oleh dua rekan, Leker dan Nendes. Sesampainya di sana, tampak sebuah cungkup yang dikelilingi oleh habitat bambu. Rimbun sekali. Entah bagaimana suasananya jika di malam hari.

1388000935308947311

Makam Buyut Madin di Atas Gumuk di Kalisat

Tadinya makam Buyut Madin hanya dihiasi oleh pondok dari bambu saja, dan tidak ada dinding di keempat sisinya. Barulah kemudian masyarakat di sekitar Gumuk saling bahu membahu membuatkan cungkup untuk makam ini. Biaya materialnya didapat dari iuran seikhlasnya, sedang pengerjaannya dilakukan secara gotong royong. Tadinya jalan menuju makam juga hendak dipaving, tapi urung. Biayanya terlalu mahal. Saya mengedarkan pandangan ke sekeliling cungkup. Di sana ada saya lihat Al Quran, dua batang rokok kretek filter yang sudah berwarna putih mangkak, nisan yang ditutupi kain berwarna putih, kelambu di dalam cungkup untuk menutupi makam, dan tumpukan piring seng yang belum dicuci. Tebakan saya, tumpukan piring tersebut sekitar 40 - 50 biji. Entah, mungkin baru-baru ini habis ada semacam doa bersama. Hal ini lupa saya tanyakan ke Kakek dan Nenek Wa.

1387999249777193444

Kakek Kamsih a.k.a Kakek Wa

Lalu saya turun, kembali ke warung, nyruput kopi, dan kembali ngobrol. Kali ini saya ngobrol bareng Kakek Wa, suami Nenek. Beliau dilahirkan pada 1936 dengan nama asli Kamsih. Ia pernah mengabdi sebagai 1957 hingga 1970, melewati 5 petinggi desa. Di tahun 1970, Kakek memutuskan untuk berhenti sebagai hansip, dan membuka warung di atas tanah milik saudaranya, hingga saat ini. Pasangan sepuh ini dikaruniai dua buah hati. Yang nomor satu putri, bernama Seniwati, panggilannya Wa. Yang bungsu laki-laki, bernama Kusminardi. Dari keduanya, mereka mendapatkan cucu-cucu tersayang yang sekali waktu mengunjunginya. Mereka menua bersama, saling menjadi teman bicara, menghabiskan sisa usia di kaki gumuk yang tak seberapa tinggi, yang di atasnya ada cungkup Buyut Madin, di sebuah dusun bernama Grugul, Sukoreno, Kalisat. Menua bersama di kaki Gumuk, alangkah indahnya.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline