"Kesalahan berpikir bukan hanya melemahkan argumen, tapi juga bisa menutup pintu hikmah."
Betapa banyak percakapan yang kandas bukan karena kebenarannya lemah, melainkan karena cara berpikir yang keliru?
Betapa banyak dialog yang gagal, bukan karena kurangnya ilmu, tapi karena prasangka menutup jalan pemahaman?
Pertanyaan itu sering muncul dalam hati saya. Dunia modern dipenuhi dengan diskusi dan perdebatan, mulai dari ruang kelas, media sosial, hingga forum keagamaan. Namun, terlalu sering yang membuat dialog berhenti bukanlah kebenaran atau kesalahan sebuah gagasan, melainkan jebakan dalam cara berpikir yang menyesatkan. Inilah yang disebut logical fallacy (kesesatan berpikir). Sesat pikir adalah bahaya sunyi. Ia tidak selalu tampak jelas, tetapi diam-diam merusak. Ia membuat argumen terdengar keras, tetapi rapuh. Ia membuat kita merasa menang, padahal sejatinya kehilangan hikmah
Apa Itu Logical Fallacy?
Secara sederhana, logical fallacy adalah kesalahan berpikir. Argumen tampak logis di permukaan, tetapi sebenarnya cacat di dalam. Dalam tradisi Islam, hal ini sejalan dengan kaidah mantiq: "Hukum atas sesuatu adalah cabang dari pemahamannya." Artinya, bila pemahaman keliru, maka keputusan pun ikut salah.
Dalam dunia dakwah, sesat pikir kerap muncul dalam bentuk ta'assub lafzhi (fanatisme pada lafazh). Orang terjebak pada kata-kata, bukan makna. Padahal dalam ushul fiqh, ulama telah mengingatkan: "Yang menjadi ukuran adalah maksud dan makna, bukan semata lafazh dan bentuk." Bahasa adalah wadah, bukan ruh. Jika kita terjebak pada wadah, kita bisa kehilangan inti.
Bentuk-Bentuk Sesat Pikir dalam Dialog Publik
Salah satu bentuk sesat pikir yang paling sering terjadi adalah strawman fallacy: menyerang versi karikatur dari lawan, bukan maksud aslinya. Misalnya, ketika seseorang memakai istilah quantum sebagai kiasan tentang keajaiban ciptaan Allah, lalu diserang seolah ia membawa aliran mistis.
Ada juga appeal to tradition: menganggap yang lama pasti benar, dan yang baru pasti salah. Padahal sejarah Islam menunjukkan ulama menerima istilah-istilah baru dalam ilmu kalam maupun fiqh, selama maknanya benar dan tidak menyalahi tauhid. Tradisi memang penting, tetapi tidak bisa dijadikan satu-satunya ukuran kebenaran.
Oversimplification juga berbahaya. Hidup penuh nuansa, tetapi kadang disederhanakan jadi hitam-putih: "pakai istilah asing = sesat." Ini reduksi yang menutup ruang dialog.