Lihat ke Halaman Asli

Ke Gontor, Apa yang Kau Cari?

Diperbarui: 10 Agustus 2018   17:43

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Dokumentasi Pribadi

Menjadi santri merupakan kebahagiaan tersendiri, itu yang penulis rasakan tatkala memposisikan diri seolah-olah adalah santri. Dunia Pesantren merupakan dunia yang penuh dengan berbagai pengalaman yang kompleks. 

Ada kekecewaan mendalam, saat muda dulu tidak mengenyam pendidikan di Pesantren. Pesantren yang dahulu seolah dipandang sebelah mata, hanya lingkup keagamaan saja, namun saat ini Pesantren sudah modern menatap kondisi masyarakat yang modern dan terbarukan.

Kedisiplinan dan keahlian yang dimiliki oleh santri sudah teruji, karena sudah terbiasa dengan gemblengan dan pembinaan setiap hari. Pembelajaran yang didapatkan santri dulu dengan santri modern ada sedikit perubahan, meski tetap menjaga agar santri tidak mudah mengakses dengan dunia sekitar. 

Sehingga, santri merasa "dipingit", tak mudah berkomunikasi karena awal-awal sebagai santri dan belajar untuk beberapa tahun dilarang memegang alat komunikasi.

Penulis sedang berbicara, situasi di Pondok Pesantren Moder Darussalam Gontor, dalam berkomunikasi, pihak Gontor menyediakan semacam Warung Telepon (Wartel) dengan menyediakan komunikasi berbagai layananan KOmunikasi dari XL, Indosat, Telkomsel, AXIS, 3 dan lainnya. Tentu tujuannya agar santri lebih fokus dalam belajar dan lebih disiplin di dalam aktifitas sehari-hari.

Sejarah Gontor

Seperti dilansir oleh media gontor.ac.id, perjalanan panjang Pondok Modern Darussalam Gontor bermula pada abad ke-18. Pondok Tegalsari sebagai cikal bakal Pondok Modern Darussalam Gontor didirikan oleh Kyai Ageng Hasan Bashari. Ribuan santri berduyun-duyun menuntut ilmu di pondok ini. Saat pondok tersebut dipimpin oleh Kyai Khalifah, terdapat seorang santri yang sangat menonjol dalam berbagai bidang. 

Namanya Sulaiman Jamaluddin, putera Panghulu Jamaluddin dan cucu Pangeran Hadiraja, Sultan Kasepuhan Cirebon. Ia sangat dekat dengan Kyainya dan Kyai pun sayang padanya. Maka setelah santri Sultan Jamaluddin dirasa telah memperoleh ilmu yang cukup, ia dinikahkan dengan putri Kyai dan diberi kepercayaan untuk mendirikan pesantren sendiri di desa Gontor.

Gontor adalah sebuah tempat yang terletak lebih kurang 3 km sebelah timur Tegalsari dan 11 km ke arah tenggara dari kota Ponorogo. Pada saat itu, Gontor masih merupakan kawasan hutan yang belum banyak didatangi orang. Bahkan hutan ini dikenal sebagai tempat persembunyian para perampok, penjahat, penyamun bahkan pemabuk.

Dengan bekal awal 40 santri, Pondok Gontor yang didirikan oleh Kyai Sulaiman Jamaluddin ini terus berkembang dengan pesat, khususnya ketika dipimpin oleh putera beliau yang bernama Kyai Anom Besari. Ketika Kyai Anom Besari wafat, Pondok diteruskan oleh generasi ketiga dari pendiri Gontor Lama dengan pimpinan Kyai Santoso Anom Besari.

Setelah perjalanan panjang tersebut, tibalah masa bagi generasi keempat. Tiga dari tujuh putra-putri Kyai Santoso Anom Besari menuntut ilmu ke berbagai lembaga pendidikan dan pesantren, dan kemudian kembali ke Gontor untuk meningkatkan mutu pendidikan di Pondok Gontor. Mereka adalah;

  • KH. Ahmad Sahal (1901-1977)
  • KH. Zainuddin Fanani (1908-1967)
  • KH. Imam Zarkasyi (1910-1985)
Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline