Langit sore itu tampak membara. Awan-awan seakan menyulutkan perasaannya ke dalam merah yang meresap hingga ke tanah. Raka berdiri di depan rumah kayu tua yang sudah bertahun-tahun tak ia datangi. Catnya mengelupas, jendela-jendela dibiarkan terbuka separuh, dan suara angin menyelinap di antara sela-sela papan yang berderit.
Delapan tahun. Sudah delapan tahun ia pergi tanpa kabar. Menjauh dari semua kenangan, dari semua luka yang tak pernah sanggup ia hadapi.
Ia ragu melangkah. Kakinya terasa berat. Tapi ketika ia menengadah, menatap langit senja yang seperti menangis bersamanya, ia tahu,ia tak bisa lagi lari.
Pintu itu terbuka sebelum ia sempat mengetuk. Seorang wanita tua berdiri di sana. Wajahnya keriput, tubuhnya lebih kecil dari yang ia ingat, tapi matanya... Matanya tetap sama. Mata yang dulu menatapnya dengan cinta, kini menatap dengan rindu yang terpendam terlalu lama.
"Raka..." suara itu lirih, hampir berbisik.
Ia membuka mulutnya, tapi tak ada suara yang keluar. Hanya air mata yang jatuh perlahan, hangat di pipi dinginnya.
"Kenapa baru pulang sekarang?" tanya ibunya, pelan, tanpa nada marah. Hanya rasa lelah yang tak tertuntaskan waktu.
Raka menunduk. "Aku... aku takut, Bu."
Sang ibu memandangnya lama, seolah ingin menyerap setiap detik yang mereka lewati bersama. "Takut pada apa, Nak?"
"Takut Ibu membenci aku. Takut melihat rumah ini tanpa Ayah. Takut semua kenangan itu menelanku hidup-hidup."