Lihat ke Halaman Asli

Sauti Ningsih Robbana Annisa

Saya ingin menjadi hakim ketua

topeng di balik senyum

Diperbarui: 23 September 2025   08:58

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

topeng di balik Senyum

Di sebuah desa kecil yang damai, hiduplah seorang lelaki bernama Karim. Dari luar, Karim tampak seperti orang baik: wajahnya ramah, tutur katanya halus, dan ia selalu terlihat paling rajin berada di surau. Setiap kali ada kegiatan gotong royong, ia muncul di barisan depan, seolah menjadi teladan bagi warga. Namun di balik semua itu, tersembunyi hati yang keras dan penuh kepalsuan.

Karim dikenal suka menegur orang lain yang lalai beribadah. "Shalat jangan ditunda, nanti azab Allah menimpa," katanya dengan suara lantang. Tapi sesungguhnya, ia sendiri sering meninggalkan shalat di rumah ketika tidak ada yang melihat. Ia hanya rajin beribadah jika ada orang banyak di sekitarnya. Saat pintu tertutup, ia kembali larut dalam dunia malas dan egoisnya.

Suatu hari, desa mereka dilanda musibah banjir bandang. Banyak rumah hanyut, sawah rusak, dan warga kehilangan harta benda. Saat warga sibuk saling membantu, Karim berdiri dengan wajah serius, mengangkat tangan tinggi-tinggi di depan umum. "Mari kita bersabar. Jangan lupa perbanyak doa," katanya seolah paling tabah. Semua orang mengangguk, terharu mendengar nasihatnya. Namun begitu malam tiba, ia hanya peduli pada keselamatan hartanya sendiri. Ia menyembunyikan barang-barang berharga di loteng rumah tanpa peduli tetangga yang kehilangan tempat tinggal.

Di sisi lain, ada seorang pemuda bernama Hasan. Ia tidak banyak bicara, tidak menonjolkan diri, dan kerap dianggap biasa saja. Namun ketika musibah melanda, dialah yang paling sigap menolong. Ia mengangkat karung beras untuk warga, menyelamatkan anak-anak yang terjebak, dan membantu membersihkan surau yang kotor karena lumpur. Hasan tidak pernah berteriak soal sabar atau tawakal, tapi ia melakukannya dengan perbuatan nyata.

Warga mulai menyadari perbedaan itu. "Heran, Karim selalu bicara tentang iman, tapi kenapa justru Hasan yang bekerja paling keras?" bisik seorang ibu. Namun mereka tetap diam, sebab Karim pandai menutupinya dengan kata-kata manis.

Malam itu, Hasan mendatangi rumah Karim. "Bang, ada beberapa keluarga yang kehilangan rumah. Mungkin kita bisa membuka ruang tamu Abang untuk mereka menginap sementara."

Karim tersenyum tipis. "Wah, maaf, rumah saya sempit. Tidak ada tempat. Lebih baik mereka ke balai desa saja."

Hasan menunduk, menahan kecewa. Ia tahu alasan itu hanya dalih. Rumah Karim cukup besar, tetapi hatinya yang sempit.

Hari-hari berlalu, dan warga makin melihat kepalsuan Karim. Saat bantuan datang dari kota, Karim mengusulkan agar ia yang membagikannya. "Saya tahu siapa yang paling membutuhkan," katanya. Tetapi yang terjadi, ia menyimpan sebagian untuk dirinya sendiri.

Sampai suatu ketika, surau desa mengadakan pertemuan besar. Seorang ustaz tamu datang dan berbicara lantang. "Munafik adalah mereka yang berbeda antara ucapan dan perbuatannya. Mereka mengaku beriman, tetapi hatinya kosong. Dan tanda orang keras hati adalah ketika melihat penderitaan orang lain, ia tidak tergugah sedikit pun."

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline