Mohon tunggu...
Amir Wata
Amir Wata Mohon Tunggu... Jurnalis - nitizen jurnalis

amiewata@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Lyfe Pilihan

Yang Kritis, Yang Mati Muda

11 November 2017   10:10 Diperbarui: 11 November 2017   10:56 1205
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Anak muda sering berada pada titik puncak eufhoria, partisipan, dan mengambang. Mereka berputar antara dilema stagnanisasi, visioner, atau seringkali hanya berada pada arus pengikut. Namun, tolak ukur kemajuan bangsa, terletak pada peran aktif mereka.

Untuk menjadi anak muda, tidaklah gampang. Di zaman mereka, kadang sebuah tanggungjawab besar berani dipikul dan harapan bernegara menjadi taruhan.  Dari mereka, tidak sedikit ide-ide cemerlang lahir, meski sering bernada sumbang, beringas dan kritis.

Tapi tak jarang juga, keberanian mereka menjadi pemicu konflik, kebernasan mereka menjadi peledak dan sikap kritis mereka menjadi ketakutan pada tirani. Maka yang kritis, yang menyuarakan kebenaran sering dilecuti dengan kekuasaan.

Pada titik ini, mereka mengalami intervensi dari segala lini dan pembungkaman. Dari gorong-gorong kemunafikan mereka dijadikan sasaran pencarian dan penghakiman kekuasaan.

Adalah Soekarno yang masa mudanya ditakuti Belanda, lalu diasingkan hingga ke Ende. Muhammad Hatta yang sosialis revolusioner sering dibungkam lalu dibuang ke Tanah Merah Papua, tidak sedikit juga perjuangan Syahril membuat Belanda geram kepadanya.

Indonesia pra-kemerdekaan juga melahirkan banyak pemuda kritis, tahun 1966 menjadi puncak kesaksian Mahasiswa bergerak meruntuhkan tirani yang telah 20 tahun berkuasa. Muncul pemuda seperti Soe Hok Gie, pemuda yang apatis terhadap organisasi tapi suka naik Gunung dan membuat puisi-puisi ditengah keterasingannya.

Soe Hok Gie yang beringas, paling aktif menyuarakan kritik terhadap raja Soekarno dengan PKI nya. Bukan hanya sekadar menulis puisi, gagasannya juga mewarnai koran-koran nasional. Dia juga paling aktif menulis buku, skripsi S1 nya bukan tak sengaja dibukukan mengulas soal pemberontakan PKI di Madiun yang diberi judul 'Orang-orang di Persimpangan Kiri Jalan.'

Oleh Dr. John Maxwell, Soe Hok Gie dijadikan sebagai subjek dalam buku yang ditulisnya berjudul, Soe Hok Gie; Diary of Young Indonesian Intellectual, yang kini sudah diterjemahkan ke  dalam bahasa Indonesia pada tahun 2001, yang berjudul Soe Hok Gie: Pergulatan Intelektual Muda Melawan Tirani.

Namun, umur pendek menyertai Soe Hok Gie, sehari sebelum ia meninggal, usianya tepat 27 tahun. Pemuda yang mencintai alam sebagai kesaksian keangkuhan penguasa menjadi pangkuan terakhirnya menghembuskan nafas.

Jauh sebelumnya, Soe Hok Gie seperti menjadi target operasi intelijen. Soeharto yang anti kritik menyelipkan mata-mata mengincar pemuda yang aktif menulis ini, mencoba buat dia bungkam, bahkan menyebarkan teror dengan mengasingkannya dari orang sekitanya. "Lebih baik diasingkan daripada harus tunduk pada kemunafikan," kata Soe Hok Gie.

Tokoh pemuda yang tak kalah pentingnya adalah Ahmad Wahib. Pemuda yang aktif menulis ini, menuangkan idenya seperti ini :

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun