Mohon tunggu...
AMIR EL HUDA
AMIR EL HUDA Mohon Tunggu... Foto/Videografer - Laki-laki biasa (saja)

Media: 1. Email: bangamir685@gmail.com 2. Fb: Amir El Huda 3. Youtube: s https://www.youtube.com/channel/UCOtz3_2NuSgtcfAMuyyWmuA 4. Ig: @amirelhuda

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Ulama Syariat vs Ulama Hakikat: Umat Mau Ikut Siapa?

13 Mei 2017   08:17 Diperbarui: 13 Mei 2017   09:06 3379
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Mendirikan rumah yang indah memerlukan kerja keras, kekompakan dan juga tahapan-tahapan yang berkelanjutan. Dimulai dari mengumpulkan dana, mengumpulkan material bangunan dan juga memilih tukang bangunan yang bisa diandalkan. Setelah itu memulai membuat fondasi yang kokoh, menegakkan dinding, menaikkan atap, memasang pintu-jendela, dan finishing dengan mengecat ataupun menambah aksesoris yang mempercantik bangunan. 

Demikian pula dalam membangun mental Islami pada diri seseorang. Memerlukan usaha keras dan juga keistikomahan yang dalam. Dimulai dengan mempelajari syariat secara benar tentang wajib, sunnah, mubah, bid'ah, halal, makruh, subhat, dan juga haram. Di sini, membaca menjadi poin penting. Tidak masalah mempelajari Islam lewat Internet ataupun buku-buku berbahasa Indonesia, tidak bid'ah meskipun Baginda Nabi tidak mengenal internet dan tidak bisa berbahasa Indonesia. ya, bid'ah hanya berlaku dalam urusan ibadah saja, misal: solat magrib empat rokaat, solat subuh tiga rokaat, berpuasa 24 jam, ataupun  terikat pernikahan dengan 5 perempuan. Yang sangat penting dalam menemani proses belajar adalah hadirnya guru yang membimbing. Di dunia pesantren sangat terkenal adagium "siapa yang belajar Islam tanpa guru, berarti tengah berguru pada setan dan nafsu".

Bersamaan mempelajari Syariat penting juga mempelajari muamalah (akhlak, dan urf  ---adat Istiadat kebiasaan yang berlaku dalam suatu masyarakat yang tidak bertentangan dengan Islam---). Syariah adalah perkara-perkara yang sudah ditetapkan oleh allah hukum-hukumnya, sedangkan muamalah adalah perkara yang oleh Allah diserahkan kepada manusia mengenai pengaturannya. Rasulullah adalah figur yang sangat sempurna. Dalam urusan bermuamalah beliaulah jagonya. Tidak hanya dalam hal menjenguk  wanita tua sakit yang memusuhinya saja, namunnya juga dalam hal berbudaya dan srawung -sikap sosial-  kepada manusia.

Beliau sangat nasionalis dan mencintai negaranya. Konon, salah satu doa yang beliau ucapkan ketika akan hijrah ke Madinah adalah "ya Allah, jadikanlah kecintaanku pada Madinah seperti kecintaanku pada Makkah, atau lebih dari itu". Beliau juga melakukan dakwah dengan pendekatan budaya. Dari cara berpakaiannya saja, beliau tidak berbeda dengan kaumnya. Bayangkan saja seandainya beliau berdakwah dengan memakai blangkon, batik, jarik dan pakaian khas jawa, tentu saja akan menjadi hal yang lucu di mata ummatnya. Bahkan dalam sebuat hadis beliau bertutur, "Sampaikanlah  (Islam)  kepada umat sesuai dengan kadar akal mereka" dan "sampaikanlah  (Islam)  kepada mereka sesuai dengan bahasa mereka". Berbicara soal akal, berarti membicarakan tingkat pemahaman dan pengetahuan. berbicara soal bahasa, berarti membicarakan juga soal kebudayaan. 

Rasulullah sangat memahami konteks dakwah dengan pendekatan budaya. Beliau sangat faham bahwa budaya bisa dijadikan strategi dakwah, dan beliau secara halus mempersilakan dakwah dengan menggunakan budaya yang ada dalam masyarakat. Hal ini dilakukan oleh para ulama pengikutnya.  Jalaludin Rumi berdakwah dengan tarian-tarian sufinya. Sunan kalijogo berdakwah dengan menggunakan wayang dan menjadikan "dua kalimat syahadat" sebagai tiket masuk pagelarannya. Budaya memberika sesaji penyembahan kepada roh diganti dengan budaya yasinan dan tahlilan: Menyembah roh dihilangkan, diganti dengan membaca Yasin, tahlil, namun tradisi tumpeng dan nasi kuning tetap dijalankan. Sunan bonang berdakwah dengan pagelaran musiknya yang kondang.  Metode seperti ini dilanjutkan oleh: Kyai Mustofa Bisri dengan berpuisi Cak Nun dengan kyai kanjeng, Roma Irama dengan dangdut, Ebit G ade dengan gaya musik klasiknya, dll.

Ulama Syriat hanyalah Istilah yang saya pakai untuk mendafinisikan dai (pendakwah) yang melihat ayat qur'an dan sunnah dalam hal tekstual saja, tidak dalam kontekstualnya (sebab munculnya ayat ataupun sunnah). Sedangkan ulama hakikat memandang suatu ayat qur'an ataupun sunnah dalam sisi tekstual dan kontekstualnya. Pemahaman tentang kontekstual inilah yang kemudian diserap, diolah dan disampaikan kepada masyarakat dengan gaya dan cara yang sesuai dengan kebiasaan masyarakat yang ada di area dakwahnya. Seperti di atas sudah disampaikan, Baginda nabi mengatakan "sampaikanlah sesuai dengan bahasa kaum". Kalimat ini bisa diperluas maknanya menjadi sampaikanlah sesuai dengan cara-cara yang bisa diterima, apapun caranya yang tidak bertentangan dengan syariat agama.

Lalu siapakah yang harus diikuti, ulama syariat atau ulama hakikat? Kedua-duanya jawaban tentu mempunyai alasan sendiri. Ulama syariat takut terjebak dalam hal-hal yang subhat, bid'ah dan hal yang diharamkan. Mereka ingin hanya mengikuti apa yang baginda nabi kerjakan saja termasuk dalam cara berpakaian, bahkan tidak sedikit yang menganggap ulama syarit bid'ah dan sesat. Sedangkan Ulama hakikat yang sudah khatam urusan syariahnya menganggap bahwa dakwah dengan pendekatan budaya dan masyarakat harus dilakukan, karena berbaur dan hidup berdampingan dengan masyarakat adalah sebuah keniscayaan. Selain itu, ulama hakikat sudah pilah-pilih metode dakwah yang sekiranya tidak bertentangan dengan syariat dan memberikan pemahaman untuk menjaga tradisi berdakwah sertah berdakwah dengan tradisi. Ulama hakikat dekat dengan nilai-nilai dan filosofi. yang sebenarnya membahayakan adalah ketika orang awam lebih gemar belajar tentang hakikat atau filsafat agama dan filsafat tuhan , namun belum serta enggan untuk belajar syariah dan dasar-dasar Islam. Mereka akan tersesat  di dalam labirin pemikiran dan tidak tau ujung jalan, serta tidak faham jalan awal. di saat seperti inilah mereka perlu bertanya pada ulama syariat dan memulai perjalanan mencari makna dari awal lagi. Yang sangat penting, Halil Asy'ari mengatakan berhentilah saling menyalahkan, manusia mempunyai kadar akal dengan berbagai tingkatan, apalagi baru hafal beberapa ayat dan hadis saja sudah berani menyalah-nyalahkan, membid'ah-bid'ahkan. Wallahu a'lam.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun