Mohon tunggu...
Amirudin Mahmud
Amirudin Mahmud Mohon Tunggu... Guru - Pendidik dan pemerhati sosial-politik

Penulis Buku "Guru Tak Boleh Sejahtera" Bekerja di SDN Unggulan Srengseng I Indramayu Blog. http://amirudinmahmud.blogspot.com/

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Tentang Fatwa Kontroversial MUI

6 Januari 2017   06:14 Diperbarui: 6 Januari 2017   09:41 2307
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Majlis Ulama Indonesia (MUI) sekarang menjadi sorotan publik. MUI mulai dipertanyakan keberadaanya. Dipertanyakan manfaatnya bagi bangsa dan negara. Diantara sebabnya adalah fatwa-fatwa yang dikeluarkanya juga sikap yang diambil terkait sejumlah permasalahan di negeri ini.  Fatwa dan sikap MUI dianggap berbau intoleransi. Mengabaikan keberagaman dan kebhinekaan Indonesia. MUI disinyalir disusupi oleh oknum dari kelompok-kelompok radikal.

Diantara langkah kontroversial MUI adalah fatwa terkait dengan kasus penistaan agama yang diduga dilakukan Gubernur Jakarta non aktif Basuki Tjahja Purnama (Ahok). Dalam putusan fatwa yang dipublikasikan ke masyarakat pada tanggal 11 Oktober 2016 itu  diantaranya menyatakan, berdasarkan hal di atas, maka pernyataan Basuki Tjahaja Purnama dikategorikan : (1) menghina Al-Quran dan atau (2) menghina ulama yang memiliki konsekuensi hukum.

Fatwa di atas yang dijadikan dasar gerakan aksi massa besar-besaran oleh berbagai organisasi Islam baik pada tanggal 4 Nopember maupun 12 Desember. Fatwa MUI seakan memutus Ahok bersalah sebelum proses peradilan. Fatwa tersebut secara tidak langsung mendorong tindakan intoleransi. Fatwa yang ditandatangani langsung  oleh Ketua MUI KH Ma’ruf Amin itu seakan mengajarkan publik guna menghakimi sang gubernur di luar pengadilan. Ini tentu sangat berbahaya bagi keadilan dan penegakan hukum di Indonesia.

Beruntung, profesionlisme Kepolisian RI dalam menangani aksi massa dapat mengendalikan keadaan. Memperkecil potensi konflik. Meminimalisir memburuknya keadaan. Aksi brutal massa dapat dicegah. Polri melakukan pendekatan presuasif dengan sangat baik. Puncaknya, aksi massa 2 Desember mampu dikendalikan Polri menjadi aksi super damai.

Kemudian fatwa terkait menggunakan atribut natal. MUI merilis fatwa haramnya Muslim menggunakan atribut non-Muslim seiring fenomena saat peringatan hari besar agama non-Islam terdapat umat Islam menggunakan atribut dan atau simbol keagamaan non-Muslim.

Fatwa MUI tersebut mendorong tindakan sweeping-yang dilakukan oleh ormas radikal seperti Front Pembela Islam (FPI) dan lainnya. Jika sekelompok orang diperbolehkan melakukan pemaksaan maka kelompok yang lain akan melakukan aksi yang sama. Maka anarkisme menjadi merajalela. Padahal yang boleh melakukan itu hanya aparat atau instansi yang diberi kewenangan oleh hukum. Presiden pun merasa prihatin atas hal tersebut. Jokowi mengintruksikan kepada Kepolisian untuk menindak tegas kelompok yang melakukan sweeping.

Lebih jauh, fatwa MUI tersebut dipahami secara salah oleh beberapa oknum Kapolda/Kapolres. Misalnya, Kapolres Bekasi Kota dan Kapolres Kulon Progo yang menjadikan fatwa MUI sebagai dasar kebijakan di daerahnya guna menindak mereka yang memasang atribut natal. Mestinya mereka berpegang teguh pada hukum positif yang berlaku di Indonesia terkait penerapan suatu kebijakan, bukan bersandar pada fatwa MUI.

Terkait hal itu, Presiden pun langsung memanggil Kapolri Jendral Polisi Tito Karnavian ke Istana Merdeka. Seperti disampaikan Sekretaris Kabinet Pramono Anung, Presiden Jokowi  ingin agar kasatwil tetap berpegang teguh pada hukum positif yang berlaku di Indonesia terkait penerapan suatu kebijakan seperti UU, PP, Perpres, Kepmen, dan seterusnya, termasuk Keputusan Kapolri sendiri.

Pembelajaran

Dari fatwa MUI dan rentetan persoalan yang muncul karenanya, selayaknya masyarakat mengambil pelajaran. Dengan pemberlajaran tersebut, diharapkan kita semua (baik pemerintahan, MUI,  maupun rakyat luas) tidak terjebak pada kesalahan yang sama dalam bersikap terkait fatwa MUI di waktu mendatang.

Menurut hemat saya, ada beberapa pembelajaran yang dapat dijelaskan, Pertama,bahwa fatwa MUI bukanlah hukum positif (ius constitutum). Fatwa MUI bukan bagian dari hukum negara yang berlaku di wilayah Indonesia. Karena bukan hukum positif negara, maka pelaksanaannya tidak boleh dipaksakan sebagaimana hukum positif pada umumnya. Apalagi, jika cara pemaksaan itu menggunakan metode hukum pidana seperti sweeping dan sejenisnya. Pendapat seperti disepakati oleh semua pakar Hukum Tata Negara seperti Mohammad Mahfud MD, Yusril Ihza Mehendra dan Denny Indrayana.        

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun