Mohon tunggu...
Amirsyah Oke
Amirsyah Oke Mohon Tunggu... Administrasi - Hobi Nulis

Pemerhati Keuangan negara. Artikel saya adalah pemikiran & pendapat pribadi.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Kerjasama Umat Beragama Mengatasi Konflik

20 Oktober 2015   09:20 Diperbarui: 20 Oktober 2015   09:22 378
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

 

Setiap terjadi konflik intoleransi khususnya antar segelintir umat beragama yang berbeda di suatu tempat di Indonesia, berbagai sikap atau reaksi muncul dalam masyarakat. Mengamati fenomena di media sosial khususnya Facebook, secara umum saya merasakan ada 3 sikap yang muncul di masyarakat. Pertama yang Pro korban dan mengecam pelaku, Kedua yang Pro Pelaku, dan ketiga yang tidak bereaksi apa-apa dengan pertimbangan tertentu.

Sikap pertama dan kedua ini cukup banyak berseliweran di medsos sehingga seolah-olah masyarakat terpecah menjadi dua kubu yang bertentangan. Hal ini sangat berbahaya karena berpotensi memanaskan suasana di tempat lain yang dapat berakibat konflik yang meluas. Sedangkan sikap yang ketiga relatif tidak mengganggu atau berbahaya. Meskipun begitu tetap berpotensi menjadi api dalam sekam bila dalam diamnya tersebut masih saja berpihak bahkan memendam kebencian.

Sikap Pro Korban

Sikap Pro Korban dan Mengecam Pelaku sebenarnya adalah hal yang wajar bila dilakukan sewajarnya dan terkendali. Sayangnya sikap ini seringkali melewati batas sehingga sadar atau tidak sadar menjadi sikap memprovokasi. Hal ini bisa jadi karena kemarahan yang menjadi dendam, atau bisa juga sebelumnya telah menyimpan rasa tidak suka atau benci. Saat terjadi peristiwa, maka kebencian tersebut terungkapkan tak terkendali.

Akibatnya mereka tak segan menggeneralisasi dan menganggap semua yang berkaitan dengan pelaku adalah jahat dan intoleran. Oknum-oknum agama A yang menyerang agama B, maka agama A dianggap mengajarkan kebencian dan kekejaman. Semua atau mayoritas pemeluk agama A dianggap memiliki sikap yang sama, benci kepada agama B dan umatnya. Akhirnya provokasi pun dilakukan oleh yang beragama B. Berbagai argumen tak berdasar dibuat untuk mendukung kemarahan dan kebencian pada agama A. Tak jarang argumen tersebut mencatut ajaran agama A, padahal mereka tidak memahami seperti apa sebenarnya ajaran agama A. Sikap seperti ini jelas tidak semestinya diambil karena akan memperkeruh suasana, menimbulkan dendam hingga memperluas konflik.

Sikap Pro Pelaku

Sikap ini biasanya timbul dengan merefer kejadian-kejadian yang telah terjadi sebelumnya bahkan kejadian di masa lalu. Misalnya sebelumnya oknum-oknum Agama B di daerah tertentu menyerang kalangan Agama A, maka saat oknum-oknum agama A menyerang kalangan agama B dianggap sebagai suatu hal yang wajar atau sebuah pembalasan. Skor satu sama! Sama seperti sikap sebelumnya, kalangan ini juga tak segan menggunakan ajaran agama B untuk mendukung argumennya, padahal mereka tidak memahami ajaran agama B.

Sikap Pro pelaku juga biasanya disertai dengan pembenaran dan alasan yang secara legal formal memang telah diatur. Misalnya adanya persyaratan tertentu yang dinilai belum dipenuhi dalam mendirikan rumah ibadah. Dengan demikian kalangan ini menganggap wajar bila timbul kemarahan hingga penyerangan dan penghancuran rumah ibadah. Sikap seperti ini jelas tidak semestinya diambil karena akan memperkeruh suasana, menimbulkan dendam hingga memperluas konflik.

Sikap mendamaikan

Yang sangat diperlukan bila terjadi konflik intoleran adalah sikap yang mendamaikan. Meskipun ada perasaan kecewa/marah atas kejadian yang menimpa kelompoknya atau merasa kelompoknya yang dirugikan, namun bukan berarti harus kehilangan akal sehat dan kasih sayang sebagai manusia. Akal sehat dan kasih sayang selaku sesama manusia harus menjadi kesadaran agar tidak kehilangan perikemanusiaan yang dapat menyebabkan tidak sungkan berbuat keji dan kejam pada kalangan atau kelompok yang berbeda.

Mereka yang berasal dari kalangan yang sama dengan korban (agama B) hendaknya berusaha menyabarkan. Jangan sampai pihak korban menjadi bertambah marah dan begitu mendendam sehingga merasa harus melakukan pembalasan yang setimpal atau bahkan lebih kejam lagi pada pelaku atau bahkan kalangan agama A. Yang harus dilakukan adalah berkoordinasi dan berkomunikasi dengan kalangan agama A yang toleran dan tidak setuju dengan aksi intoleran yang dilakukan oleh oknum-oknum dari kalangannya. Kalangan agama A yang toleran dapat membantu mendinginkan suasana dan memberikan penyadaran pada kalangannya bahwa hal tersebut tidak sesuai dengan ajaran agama A. Selain itu juga terus mendukung upaya pihak berwenang dalam menyelesaikan permasalahan sesuai dengan koridor hukum yang berlaku dan pengambilan kebijakan untuk kepentingan dan kebaikan bersama.

Yang berasal dari kalangan yang sama dengan Pelaku juga harus proaktiv dan tidak segan mengecam tindakan intoleran yang dilakukan. Pendekatan dengan ajaran agama A yang mengedepankan kebaikan dan kedamaian menjadi sangat penting untuk meredam kemarahan dan dendam pelaku. Hal ini juga dapat mencegah makin banyaknya kalangan yang mendukung tindakan intoleran pelaku terhadap korban (agama B).

Dua peristiwa yang mirip dan waktunya berdekatan yaitu Tolikara Papua dan Aceh Singkil bisa menjadi contoh bagaimana sikap mendamaikan yang dilakukan oleh kalangan yang mengedepankan toleransi. Meskipun ada saja kalangan sumbu pendek yang gemar memprovokasi, menebarkan kebencian dan mengadu domba agar konflik terus terjadi berkepanjangan dan meluas, namun sangat banyak kalangan yang toleran yang berusaha mendinginkan suasana dan mendamaikan kedua belah pihak.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun