Coba kita telisik satu per satu.
Siapa komunitas sebenarnya? Dalam berbagai literatur disebutkan bahwa komunitas adalah sekelompok individu yang direkatkan dan disatukan oleh satu isu atau cita-cita bersama.Â
Ikatan tersebut kemudian diterjemahkan menjadi nilai yang menjadi rujukan bersama. Dari nilai yang dijunjung barulah dijabarkan dan disepakati pola tindak yang sekaligus menjadi pembeda satu komunitas dengan komunitas yang lain.
Komunitas dalam praktik sering dicirikan oleh kemandirian, mandiri bersikap, mandiri merancang kegiatan maupun mandiri dalam menyediakan sumber daya.Â
Kemandirian lah yang membuat gerak langkah komunitas bermakna. Kemandirian lah yang memampukan komunitas memilih sasaran yang spesifik dan menyesuaikan dengan sumber daya yang dimilikinya sehingga efektif dan efisien melakukan sesuatu.
Bagaimana dengan komunitas pendidikan?
Sejarah berdirinya negara ini tidak bisa menampik peran lembaga pendidikan atau pengajaran yang diselenggarakan oleh komunitas, khususnya komunitas berbasis agama.Â
Dalam komunitas Islam siapa bisa membantah peran Nahdlatul Ulama dengan sebaran pesantrennya? Siapa juga bisa menghapus peran Muhammadiyah yang melalui amal usahanya menyelenggarakan perguruan mulai dari jenjang usia dini sampai perguruan tinggi jauh sebelum Indonesia merdeka? Jangan juga lupakan sekolah-sekolah Katolik atau Kristen yang menjangkau sampai ke pelosok, atau Perguruan Taman Siswa.
Mereka inilah yang paling kuat posisinya untuk menyandang sebutan komunitas di bidang pendidikan.
Penolakan komunitas-komunitas besar itu, plus Persatuan Guru Republik Indonesia, akhirnya meruntuhkan legitimasi moral POP terlepas dari pernyataan bahwa mereka menyoroti proses nya yang tidak transparan dan akuntabel.
Mudah-mudahan hal ini akan ada titik temu yang menguntungkan bagi dunia pendidikan kita.