Apakah kalian pernah mengalami cinta terlarang? Semisal karena beda agama atau seagama tetapi lain aliran, masih satu marga atau fam, atau karena mencintai sesama jenis kelamin. Mereka tidak menjawab dan hanya saling pandang, mungkin berharap salah satu dari mereka ada yang pernah mengalaminya.
"Kalian ingin mendengar kisahku?"
Semuanya antusias dan tidak sabar menunggu. Baiklah. Kata banyak orang cinta kami termasuk yang dilarang. Bukan karena alasan yang tadi aku sebutkan, tetapi tetap sensitif. Orang-orang bilang lebih baik jangan diteruskan, dan kami memutuskan untuk mengabaikannya. Dan hasilnya terbukti. Tidak ada lagi suara penolakan. Perjuangan cinta kami kini menginspirasi banyak orang. Termasuk untuk kalian, bukan?
"Bagaimana cara kalian bisa bertahan?"
 Pertanyaan bagus, pikirku.
Perjumpaan kami tidak disengaja. Aku lulus perguruan tinggi negeri dan segera berangkat menggunakan pesawat. Ini pengalaman pertamaku. Aku tiba di Polonia dua jam sebelum keberangkatan. Meskipun sudah diajari, berkali-kali aku bertanya kepada petugas dengan harapan aku tidak salah naik pesawat. Penyebabnya adalah film Home Alone 2. Sangat tidak lucu kalau itu terjadi padaku.Â
Selama menunggu, aku sangat waspada dengan tiketku. Kertas berharga itu aku masukkan ke dalam amplop dan dilipat sehingga muat di kantung depan jeans. Aku dilarang menyimpannya di dalam dompet. Itu pesan ayahku. Pikirnya pencopet tidak hanya beraksi di terminal bus saja.
Pengumuman yang saling berlomba juga tidak luput dari pengawasan. Dan benar saja, aku dan seluruh penumpang diminta segera berbaris untuk menuju badan pesawat. Tiket aku pegang erat sembari mengamati nomor yang tertulis di atas kursi. Ternyata aku duduk di bagian belakang. Sudah ada dua penumpang. Bapak berkepala botak berbadan besar dan perempuan cantik di dekat jendala.Â
Aku permisi dan duduk di antara mereka. Pilot mengatakan cuaca cerah dan akan tiba di Soekarno-Hatta dua jam kemudian. Akhirnya aku benar-benar terbang. Aku berusaha menenangkan diri dengan berdoa. Tidak cukup sekali. Doa yang sama aku ulangi kembali, hanya saja tanpa menutup mata. Si Bapak sudah tidur pulas. Dan aku merasakan seperti diawasi oleh penumpang di sebelah kananku.
"Pertama kali naik pesawat?"
Astaga, bagaimana ia bisa tahu. Tentu saja ia tahu. Dan siapa pun yang melihat kegelisahanku pasti tahu.