Idiom Berbahasa Jawa
Idiom "Koyo Semut Nguntal Watu" populer di kalangan santri di Jawa. Terjemahan Bahasa Indonesianya adalah "Seperti Semut Menelan Batu". Sebuah idiom yang digunakan sebagai penegasan bahwa sesuatu tidak mungkin dilakukan. Seekor semut tak akan mungkin menelan sebutir batu. Bisa karena mulut dan perut seekor semut terlalu kecil untuk menelan sebuah batu, atau memang karena semut bukan serangga pemakan batu.
Redaksi lengkap idiom di atas adalah "Ngibadah tanpo ngelmu koyo semut nguntal watu". Diterjemahkan menjadi "Beribadah tanpa ilmu seperti semut menelan batu". Penggunaan kata "nguntal" memiliki rasa yang lebih dalam, karena "nguntal" meskipun arti Bahasa Indonesianya adalah "menelan", tetapi dalam Bahasa Jawa, kata "nguntal" sangatlah kasar, hampir tidak digunakan dalam pergaulan sehari-hari kecuali untuk konteks yang tidak sopan atau untuk merendahkan, atau ungkapan keakraban yang sangat, seperti misalnya kata "dancuk" atau "jancuk" (entah mana penulisan yang benar) di Jawa Timur digunakan antar sesama teman karib yang sangat akrab, atau disuasanakan agar sangat akrab.
Pagi tadi di salah satu grup WA saya sempat ada diskusi tentang sebuah topik yang kemudian salah satu komentar adalah "koyo semut nguntal watu". Topik yang kami diskusikan adalah tentang pasar bebas para ustadz. Beberapa hari ini sebuah share tentang topik tersebut sedang banyak dibagikan di forum-forum diskusi media sosial.
Pasar Bebas Para Ustadz
Topik yang saya maksud berjudul "Pasar Bebas Para Ustadz" menyoroti kondisi aktual yang sedang terjadi di dunia maya, banyak pengguna media sosial memilih sendiri tausiah, terutama dari konten Youtube, tanpa memandang siapa yang menyampaikan. Tausiyah dari siapapun di Youtube yang penting sesuai dengan hati nurani, maka diambilnya. Tausiyah-tausiyah yang sebut saja "tausiyah pilihan" tersebut mengumpulkan video ceramah dari berbagai gaya dan latar belakang penceramah/ustadz, mulai dari yang lembut, lucu, serius, keras, sarat ilmu, kaya refensi ataupun minim eferensi, hasil renungan mendalam, dan sebagainya. Pendek kata, semua jenis tausiyah adalah layak dipilih sesuai suasana hati.
Tibalah diskusi di grup WA tersebut pada sebuah komen bahwa mencari ilmu itu hanya boleh melalui guru. Kurang lebih begitu. Maka komentar demi komentar pun muncul hingga komentar "semut nguntal watu"Â tersebut. Meskipun tidak pas betul dengan pakem aslinya yang behubungan dengan perkara ibadah, komentar "semut nguntal watu" mengemuka untuk menguatkan bahwa ilmu itu kudu-nya diperoleh dari seorang guru secara langsung, bukan dari konten semacam Youtube atau sumber lain yang bukan berwujud guru berupa manusia secara langsung.
Siapa itu Guru?
Benarkah demikian, tidak bolehkah mendapatkan ilmu atau informasi keagamaan kecuali diberikan secara face to face dari seorang guru berbentuk manusia hidup dan bertemu langsung?
Kaidah dasarnya benar, bahwa ilmu itu harus diajarkan langsung oleh seorang guru, karena dengan demikian maka ilmu tersebut telah teruji dan sudah diseleksi oleh seseorang yang memiliki pengalaman dan kapasitas keilmuan yang cukup, yang disebut guru. Keberadaan guru mutlak harus ada, agar pemahaman, terutama pemahaman dalam masalah agama, tidak sesat. Berbagai ajaran agama yang melenceng dari kaidah-kaidah dasar dan pokok agama bisa dibilang, terjadi karena orang yang tidak memiliki ilmu agama cukup terlalu percaya diri membuat kesimpulan-kesimpulan tentang agama hingga akhirnya terjadilah sesat fikir.
Pangkal permasalahan topik ini sesungguhnya kekhawatiran akan terjadinya kesimpulan yang keliru. Tanpa ada guru yang mengarahkan, potensi kekeliruan sangat besar. Namun andai ada orang yang berposisi sebagai guru pun, tetapi apa yang dipahami oleh sang guru tersebut ternyata  mengandung kekeliruan, maka yang terjadi adalah kekeliruan yang turun-temurun. Oleh karenanya sesungguhnya yang menjadi pokok tidak sekedar ada guru atau tidak, tetapi syarat mencari ilmu harus ada guru yang matang, yang dalam salah satu referensi (Kitab Ta'limul Mutaallim) disebut "Irsyadi Ustadzin" (kematangan sang guru). Syarat ini adalah syarat kelima setelah disebut empat syarat sebelumnya, dan setelah itu ada satu syarat lagi sebagai syarat keenam. Guru yang dimaksud dalam referensi tersebut adalah guru yang mengajarkan kepada muridnya secara talaqqi atau dengan pertemuan langsung.
Guru seperti apa yang layak menyandang gelar "Irsyad" tersebut? Kata al-Irsyad diartikan secara sederhana dengan "matang", yaitu sosok yang matang keguruannya. Guru yang matang adalah guru yang cukup, bijak sikap dan kepribadiannya, luas wawasannya, cukup pengalaman olah ilmunya, dan sifat baik lainnya. Tentu sangat tidak mudah mencari sosok guru seperti itu saat ini. Lantas karena berbagai keterbatasan, syarat tersebut disederhanakan menjadi satu syarat saja, misalnya pernah menempuh pendidikan di lembaga pendidikan agama. Bahkan tidak sedikit, syarat guru hanya dengan berbekal retorita dan hasil renungan-renungan spiritual pribadi.
Sampai di sini, jika dipersyaratkan bahwa seluruh apa yang kita pahami harus diperoleh dari seorang guru secara langsung menjadi tidak relevan, karena hampir tak mungkin dapat dipenuhi. Yang mungkin dilakukan adalah bahwa dasar-dasar pemahaman yang kita miliki mestilah didapat dari guru, sedangkan perkara-perkara cabang dan detil bisa jadi tidak didapat dari pertemuan langsung dengan seorang guru. Mungkin hasil olah pikir sendiri dengan dilandasi dasar-dasar berfikir tadi, atau dari guru tak langsung kemudian apa yang didapat itu ditimbang dengan ilmu yang diperoleh dari guru. Hal demikian lebih rasional untuk dilakukan seseorang zaman ini.
Jika menginginkan guru yang ideal, tentu akan sangat sulit pada zaman sekarang. Belum lagi seseorang yang dianggap sebagai guru yang ideal, belum tentu orang lain menganggapnya demikian. Bisa jadi yang terjadi sebaliknya, apa yang disampaikan oleh guru tersebut, dipandang keliru atau termasuk sesat menurut orang yang bukan muridnya. Alasannya pun cukup berdasar sehingga tak bisa disalahkan. Mengapa demikian? Sepertinya kalau ditelaah lebih cermat, hal tersebut terjadi karena ada sifat-sifat kurang irsyad atau kurang matang keguruan sang guru, sehingga apa, dimana, kapan, dan bagaimana cara menyampaikan ilmunya dianggap tidak tepat, kemudian memunculkan salah tafsir dan salah faham. Artinya syarat "irsyadi ustadzin" belum sepenuhnya terpenuhi.