Oleh Amidi
Â
Untuk menyampaikan aspirasi dan atau keritik, bisa dengan  tulisan  melalui media masa, media sosial, pengaduan online dan lainnya, dan bisa juga dengan  cara unjuk rasa  atau demontrasi  serta dengan beberapa cara lainnya.
Dalam kenyataannya,  jika aspirasi  dan atau kritik disampaikan melalui  tulisan atau berdialog, biasanya pihak yang akan menerima aspirasi atau pihak yang di kritik terkadang "acuh tak acuh", lainnya hal dengan demontrasi. Pihak yang melakukan demontrasi, biasanya  mendapat perhatian lebih dibandingkan dengan pihak yang menulis.
Pada kenyataannya, aspirasi atau kritik yang disampaikan melalui demontrasi pun terkadang  masih juga  dianggap angin lalu, walaupun,  "ada umpan balik" dari pihak yang di demo atau pihak yang akan menerima aspirasi terkadang umpan bliknya  belum  memuaskan.
Â
Indikasi ini terlihat pada demo mahasiswa atau rakyat pada  tanggal 25 Agustus 2025 lalu, karena pihak yang di demo (DPR/Pemerintah) belum dapat merealisasikan subtansi tuntutan dari pihak yang menyampaikan aspirasi, sehingga timbul tuntutan baru lagi yakni tuntutan 17 + 8 tersebut.
Â
Walaupun demikian, selama ini, tidak sedikit demo yang dilakukan mahasiswa, aktivis atau  rakyat tersebut, "sudah berhasil", sebut saja demo tahun 1998 yang mengusung reformasi, aksi demo tersebut boleh dibilang sukses, yang ditandai  pergantian pempinan pemerintahan tertinggi di negeri ini. Kemudian sebelumnya, ada  beberapa aksi demo yang juga sukses,  berhasil merubah tatanan menjadi lebih baik dan mencerahkan.
Â
Substansi Demo !
Â
Bila di simak, dalam perjalanannya, demo yang dilakukan mahasiswa, aktivis, atau rakyat tersebut adalah susatu demo dalam rangka menyuarakan aspirasi rakyat menuntut adanya perbaikan kondisi ekonomi yang tercermin pada gangguan variabel  ekonomi; pertumbuhan ekonomi yang melambat, ketimpangan, tingkat pengangguran yang terus meningkat, kemiskinan menjadi-jadi, kenaikan harga, kebijakan monter dan fiskal yang justru memberatkan anak negeri ini dan variabel ekonomi lainnya.
Diketahui bahwa fenomena yang melanda negeri ini sudah tidak bisa dibendung lagi, korupsi merajalela yang akan menekan angka pertumbuhan dan memiskinkan anak negeri ini,  tarif pajak yang terus  melambung dan diikuti dengan semakin banyaknya objek pajak, aktivitas yang mengikis monetisasi (moneter), adanya kenaikan tunjangan petinggi negeri ini (DPR) yang sangat fantastis, ditambah lagi adanya kasus ekonomi yang mengsengsarakan anak negeri ini, kegiatan oplos, kegiatan ekspor-impor  yang merugikan negara, dan lainnya.
Untuk mengerem pihak-pihak yang bertindak sewenang-wenang dan atau zolim tersebut, biasanya anak negeri ini yang peduli akan melakukan "protes", "aksi demo", dalam rangka  "menyuarakan asprirasi"
Sayangnya, perbaikan kondisi ekonomi,  baru akan dilakukan apabila ada pihak yang melakukan aksi demo dan atau menyampaikan aspirasi dengan cara fulgar, karena bila dilakukan dengan cara biasa saja atau santun, terkadang tidak "ditanggapi/direspon". Maka, wajar kalau mereka  harus melakukan aksi demo, sekalipun demo  akan  "menelan korban", "akan merusak fasilitas umum", bahkan "akan menghilangkan nyawa", Sehingga tidak kecil opportunity cost yang tercipta,  semakin lama dan semakin "brutal" aksi demo dilakuakn, semakin besar opportunity cost yang akan tercipta, sayang bukan?