Meski bercorak patriarkat, ternyata masyarakat NTT pada dasarnya juga sangat menghormati perempuan itu sebagai ibu.Â
Sebab ibu merupakan lambang dari kesuburan, karena dari merekalah individu baru manusia muncul ke tengah dunia.Â
Bertolak dari cara pandang ini justru ternyata berseberangan dalam tataran praktisnya.Â
Bahwasannya, sejak kecil seorang anak perempuan itu sudah harus mengambil alih sebagian dari tugas ibunya seperti membersihkan rumah, menjaga dan menggendong adik, membantu di dapur dan sebagainya.Â
Semua tugas tersebut justru memperkuat keyakinan masyarakat bahwa ibu dan pengasuh anak-anak adalah ukuran positif keperempuanan. (bdk. Patris Tupen, dkk., dalam Statistik Gender dan Analisis di Kabupaten Timor Tengah Utara, 2005).
Kesimpulan dari kedua analisis di atas tentunya melegitim hipotesis posisi perempuan NTT sebagai warga kelas "dua" dalam masyarakat. Perempuan itu masih indentik dengan dapur, kasur dan sumur. Konstruksi gender demikian kian mengakar dalam lingkup masyarakat tradisional.Â
Walaupun dalam masyarakat urban pandangan demikian justru sifatnya relative dan barangkali akan masih dapat dibantah bila melihat realitas kehidupan perempuan di kota yang sudah mulai dijangkiti oleh pandangan yang emansipasipatif.
Akan tetapi bahayanya, bila doktrin budaya patriarkat yang merendahkan posisi mereka tersebut sudah terlanjur mengakar dalam pola pikir kaum hawa sendiri, sekalipun mereka sudah mulai berbaur dengan lingkungan yang harmonis. Maka jalan kesetaraan gender masih akan terasa semakin terjal untuk diperjuangkan.
Munculnya Gerakan Perempuan NTT: sebuah antitesis yang solutif
Salah satu lembaga yang mengadvokasi khusus hak-hak kaum perempuan di Flores-NTT adalah TRUK (Tim Relawan Untuk Kemanusiaan) -- Divisi Perempuan. Lokasinya di Maumere-Flores, NTT.
Sejak awal berdirinya organisasi ini merumuskan visi yakni: "Mendambakan sebuah masa depan di mana hak-hak manusia dihormati, diakui secara utuh dan benar, sehingga kita (laki-laki dan perempuan) mampu mandiri melakukan fungsinya".