Mohon tunggu...
Amalia Salabi
Amalia Salabi Mohon Tunggu... -

Founder of GIMI | CEO of Street Genius Id | YSI SAA | Researcher for Islamic Study and History

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Duka Profesi Sejarawan

15 Januari 2016   07:15 Diperbarui: 15 Januari 2016   07:37 61
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Profesi sejarawan, profesi kelas tiga kata mereka. Mahasiswa-mahasiswa sejarah seringkali mendapatkan perlakuan underestimate saat ditanya, "kuliah jurusan apa?". Mau kerja jadi apa, tanya mereka.

Memang profesi ini tidak menjanjikan dan tidak sekeren saat anak-anak anda, kekasih atau istri/suami anda jadi dokter, pengacara, atau insinyur. Tapi ketahuilah bahwa kerelaan untuk hidup hampir anti kemapanan dan berusaha mengisolasi diri dari "suara-suara ghaib" yang mengatakan kami pengangguran terselubung bukanlah perihal yang mudah dijalani.

Sejarawan katanya harus kaya raya, karna di negeri ini siapa yang butuh tenaga sejarawan? Ia harus dapat menghidupi dirinya sendiri dan keluarganya tentunya. Keluarga yang terkadang melihat anak tetangga sebelah lebih sukses karna sudah bisa membelikan ini itu untuk keluarganya.

Sejarawan, harus teliti membaca dokumen yang sudah usang termakan usia. Kadang harus berhenti ditengah jalan karena data tidak memadai. Sejarawan pula mesti berhati-hati atas subjektivitas dari asumsi pribadi, agar tak salah bangsa ini memahami sejarahnya. Sejarawan bekerja hampir tidak dipedulikan, merekonstruksi fakta historis, serta merapikan kenangan bangsa yang telah tertutup oleh episode-episode baru dan perihal detail atasnya.

Sejarawan, berdialog dengan orang orang yang telah menghantarkan bangsa ini kepada kehidupan nyaman yang ditemui mereka saat ini. Ya, profesi tak kasat mata yang hanya dipanggil pada saat-saat menjelang Kemerdekaan atau Hari Pahlawan. Profesi putus asa, kata mereka. Biarkanlah. Seperti salah satu puisi dari Fiersa Besari, "Aku, biarlah seperti bumi. Menopang meski diinjak, memberi meski dihujani, diam meski dipanasi. Sampai kau sadar, jika aku hancur, kau pun ikut hancur."

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun