Profesi sejarawan, profesi kelas tiga kata mereka. Mahasiswa-mahasiswa sejarah seringkali mendapatkan perlakuan underestimate saat ditanya, "kuliah jurusan apa?". Mau kerja jadi apa, tanya mereka.
Memang profesi ini tidak menjanjikan dan tidak sekeren saat anak-anak anda, kekasih atau istri/suami anda jadi dokter, pengacara, atau insinyur. Tapi ketahuilah bahwa kerelaan untuk hidup hampir anti kemapanan dan berusaha mengisolasi diri dari "suara-suara ghaib" yang mengatakan kami pengangguran terselubung bukanlah perihal yang mudah dijalani.
Sejarawan katanya harus kaya raya, karna di negeri ini siapa yang butuh tenaga sejarawan? Ia harus dapat menghidupi dirinya sendiri dan keluarganya tentunya. Keluarga yang terkadang melihat anak tetangga sebelah lebih sukses karna sudah bisa membelikan ini itu untuk keluarganya.
Sejarawan, harus teliti membaca dokumen yang sudah usang termakan usia. Kadang harus berhenti ditengah jalan karena data tidak memadai. Sejarawan pula mesti berhati-hati atas subjektivitas dari asumsi pribadi, agar tak salah bangsa ini memahami sejarahnya. Sejarawan bekerja hampir tidak dipedulikan, merekonstruksi fakta historis, serta merapikan kenangan bangsa yang telah tertutup oleh episode-episode baru dan perihal detail atasnya.
Sejarawan, berdialog dengan orang orang yang telah menghantarkan bangsa ini kepada kehidupan nyaman yang ditemui mereka saat ini. Ya, profesi tak kasat mata yang hanya dipanggil pada saat-saat menjelang Kemerdekaan atau Hari Pahlawan. Profesi putus asa, kata mereka. Biarkanlah. Seperti salah satu puisi dari Fiersa Besari, "Aku, biarlah seperti bumi. Menopang meski diinjak, memberi meski dihujani, diam meski dipanasi. Sampai kau sadar, jika aku hancur, kau pun ikut hancur."