Seperti Kacang Lupa Kulitnya:Renungan Anak Desa tentang Pendidikan yang Terabaikan
                 Oleh:Amalia Azizatul Munawaroh
Pertanyaan itu datang dari teman dekat saya di sebuah malam yang tenang di kampung halaman.Sementara saya asyik menceritakan kehidupan kampus di Surabaya,dia seusia saya,namun berhenti sekolah sejak SMA---menyela dengan sebuah pertanyaan singkat yang menusuk."kuliah itu buat apa sih?Toh,nanti cari kerja juga susah.Lebih baik kerja seperti saya ,dapat uang langsung"
Saya terdiam.Di hadapannya,saya yang dianggap "beruntung"karena bisa kuliah di Universitas ternama,tiba tiba merasa seperti seorang alien yang bercerita tentang planet lain.Baginya,dan bagi banyak pemuda lain di desa saya,Pendidikan bukanlah sebuah investasi,melainkan biaya yang mahal dan tidak pasti.Ini adalah logika perut yang lebih kuat daripada logika masa depan.
Pengalaman pribadi ini bukanlah sekedar kejadian unik.Ia adalah cerminan dari sebuah fenomena sosial yang menggerogoti banyak desa di Indonesia:pudarnya minat terhadap Pendidikan formal.Bukan karena mereka bodoh atau malas,melainkan karena sebuah ekosistem yang tidak lagi mendukung mimpi-mimpi itu.
Secara ekonomi argument teman saya memiliki dasar yang kuat,Dia melihat tetangganya yang sarjana menganggur berbulan bulan,sementra dia yang bekerja montir di bengkel desa bisa mengantarkan uang setiap pekan kepada orang tuanya.Bagi keluarga dengan ekonomi pas-pasan,pendapatan sesegera mungkin adalah prioritas utama.Biaya sekolah,buku,dan kehidupan di kota terasa seperti jurang yang terlalu dalam dan gelap untuk di jejali."Sekolah tinggi tinggi ujung-ujungnya jadi pengangguran juga,"kata kata tersebut keluar dari salah satu kerabat saya,mengatakan dengan pandangan sinisnya
Secara sosial budaya,desa saya kurang teladan.Siapa saja yang "sukses" dari Pendidikan?mereka yang berhasil adalah mereka yang pergi merantau,bekerja sebagai buruh pabrik atau TKI,dan pulang dengan membawa barang barang baru.Pendidikan tinggi di anggap menjadi jalan untuk "lari" dari desa,bukan untuk membangunnya.Akibatnya,tidak ada rasa memiliki terhadap sekolah.Pustaka desa sepi,ruang belajar anak terbengkalai,dan diskusi tenetang beasiswa menjadi topik yang asing,hanya dibicarakandi kalangan segelintir orang.
Saya merasakan jarak ini setiap kali pulang.Teman-teman sepermainan saya kini memiliki keluarga,bekerja sebagai petani atau pedagang kecil.Percakapan kami berubah dari impian masa depan menjadi kebutuhan anak anak mereka
Sebagai mahasiswa Universitas Airlangga,saya belajar banyak teoripembangunan,kebijakan public,dan pemberdayaan masyarakat.Namun,teori-teori itu terasa kering ketika berhadapan dengan realitas wajah-wajah Lelah teman saya atau keraguan di mata para orang tua,Saya menyadari bahwa masalah ini tidak bisa diselesaikan hanya dengan membagikan beasiswa atau membangun sekolah yang bagus.Masalahnya ada di pola piker,di harapan yang telah pudar.
Mungkin,sosulinya bukan lagi menawarkan mimpi untuk "keluar dari desa",Mungkin sudah waktunya kita menawarkan mimpi untuk "memaknai desa".Pendidikan harus hadir dalam bentuk yang relevan dan langsung dirasakan manfaatnya.Bukan hanya jurusan akuntasi dan hukum,tetapi juga pelatiahn tetntang agroteknologi modern,pemasaran digital untuk peroduk UMKM desa,atau pariwisata berbasis komunitas.Pendidikan yang menjadikan desa sebagai kelas laboratorium,bukan sesuatu yang harus di tinggalkan.
Tugas saya sebagai anak desa yang mendapat kesempatan pendidikan lebih tinggi bukanlah untuk sombong dan melupakan.Tugas saya adalah menjadi jembatan. Menunjukkan bahwa ilmu yang saya pelajari di kota bisa membawa perubahan,meski kecil,di kampung halaman.Bahwa gelar sarjana bukan sekadar ijazah untuk melamar pekerjaan,melainkan amanat untuk membangun.