Mohon tunggu...
Amalia Fathia
Amalia Fathia Mohon Tunggu... -

Selanjutnya

Tutup

Inovasi

Pemanfaatan Energi Terbarukan Kota Ambon

28 Desember 2017   15:59 Diperbarui: 28 Desember 2017   16:01 1601
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Fakta Listrik Kota Ambon

Ambon merupakan salah satu kota yang terletak di provinsi Maluku. Dengan luas area sekitar 298,61 km2, Kota Ambon memiliki jumlah penduduk sebanyak 368,987 jiwa. Berdasarkan data RUPTL yang diterbitkan PT. PLN, pada tahun 2017, masyarakat Ambon mengonsumsi energi listrik sebesar 0,58TWh (580.000 MWh)  sekitar  0,24% dari pemakaian listrik seluruh Indonesia yang sebesar 233,8 TWh. Pemakain listrik di Ambon disuplai dari beberapa pembangkit listrik diesel (PLTD) yaitu Hative Kecil sebesar 21,5 MW, Mesil Hative Kecil sebesar 20 MW, Poka sebesar 20,8 MW, dan 26 MW. Seperti kita ketahui, PLTD memakai bahan bakar dari solar fosil untuk membangkitkan energi listrik, dengan rasio pembangkitan rata -- rata 0,3 liter / kWh, harga bahan bakar sebesar Rp. 5.150,-/liter dan biaya investasi biaya pokok pembangkitan listrik mencapai Rp. 1.680,- (biaya bpp yang ditetapkan PLN).

Harga ini cukup tinggi apabila dibandingkan dengan harga pembangkitan menggunakan batu bara (PLTU) sebesar Rp. 800,-/kWh seperti yang dipakai di sebagian besar pulau Jawa. Pertanyaan yang timbul dari kesenjangan ini adalah mengapa PT. PLN tidak membangun PLTU di Kota Ambon? Hal ini dikarenakan konsumsi daya yang masih tergolong kecil. Dengan nilai investasi PLTU sebesar 1.000.000 USD/MW (Rp. 13,5 Miliar / MW) dibandingkan dengan konsumsi listrik masyarakat ambon, waktu pengembalian modal dan keuntungan tidak sesuai dengan perencanaan, dan juga belum termasuk faktor lainnya seperti sulitnya perijinan dan persetujuan masyarakat.

Listrik Energi Baru Terbarukan (EBT)

Melihat fakta saat ini, biaya pokok produksi listrik pembangkit bahan bakar fosil merupakan yang termurah dan paling banyak digunakan. Namun menurut ahli batu bara dan minyak bumi, batu bara diprediksi akan habis dalam kurun waktu 80 - 90 tahun, yang akan berimbas pada kenaikan biaya produksi listrik batu bara di beberapa tahun ke depan. Menyadari hal tersebut, banyak negara yang beralih pada EBT sebagai bahan bakar pembangkit listrik.

Salah satu energi yang sedang naik daun adalah energi surya dan angin. Selama kurun waktu 10 tahun, pemanfaatan energi surya meningkat sebesar 305 GW (Sumber: SolarPower Europe) yang sebanding dengan penurunan harga pembangkitan listrik. Hasil lelang dunia termurah pada tahun 2016 mencapai harga 2,91 US sen /kWh.

Di indonesia sendiri, menurut Rencana Umum Energi Nasional (RUEN), potensi dari energi surya sebesar 207.898 MW (rata -- rata 4,8 kWh/m2/hari), namun kapasitas yang terpasang saat ini baru sebesar 78,5 MW, apabila dihitung daam persentasi, hanya sekitar 0,004% yang baru dimanfaatkan di Indonesia. Untuk energi angin, potensi sebesar 60.647 MW ( 4m/s), kapasitas terpasang 3,1 MW (belum termasuk PLTB Sidrap), dan persentase pemanfaatan sebesar 0,001%. Pemanfaatan ini masih sangat kecil dibandingkan dengan negara- negara lain.

Faktor utama yang mempengaruhi minimnya pemanfaatan EBT tersebut adalah harga listrik dari surya dan angin belum kompetitif dibandingkan dengan pembangkit listrik dari fosil. Salah satu penyebab  ketimpangan harga ini dikarenakan pemerintah memberikan subsidi besar untuk bahan bakar fosil yang membuat biaya produksi listrik fosil lebih murah dengan pembangkit EBT.   

Peluang Pemanfaatan EBT di Kota Ambon

Menurut data intensitas matahari yang diperoleh dari NASA, Ambon memiliki  potensi energi listrik sebesar 5,76 kWh/m2/hari dan kecepatan angin sebesar 4,62 m/s pada ketinggian 50m. Potensi ini dapat dimanfaatkan untuk mensuplai energi listrik di Kota Ambon, besarnya pembangkit disesuaikan dengan regulasi pembangkit intermiten di jaringan PLN. Dengan asumsi regulasi penetrasi pembangkit intermiten sebesar 10% dari jaringan yang terpasang pada tahun 2026, kapasitas pembangkit listrik tenaga surya (PLTS) yang dapat dibangun sebesar 25 MW dan pembangkit listrik tenaga bayu (PLTB) sebesar 35 MW. Daya sebesar ini mampu mengurangi biaya pembangkitan listrik sebesar Rp. 354,-/kWh (Perhitungan: Energyplan-aalborg) dibandingkan dengan rencana pembangunan pembangkit listrik menurut RUPTL yang menggunakan kombinasi pembangkit listrik tenaga gas (PLTG) dan batu bara (PLTU). Faktor yang memengaruhi adalah pengurangan bahan bakar dan emisi gas CO2.

Dari analisis yang disajikan di atas, penting bagi pemerintah sebagai pemegang kekuasaan untuk membuat regulasi yang tepat dalam pemanfaatan EBT. Langkah awal dimulai dari mengalihkan subsidi bahan bakar minyak (BBM) ke pengembangan dan pembangunan pembangkit -- pembangkit EBT.

Oleh: Amalia Fathia, Bernardus Galih Dwi Wicaksono, Gde Km Atmajaya, Jean Pierre Uwiringiyimana

Mohon tunggu...

Lihat Konten Inovasi Selengkapnya
Lihat Inovasi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun