Ketika mendengar frasa "energi terbarukan", kita sering mengidentikkannya dengan inovasi-inovasi mengenai pemenuhan kebutuhan manusia yang ramah lingkungan. Energi terbarukan memiliki niat baik, yaitu menjaga kelangsungan peradaban dengan tetap menjaga kelestarian alam dan lingkungan.Â
Kampanye penggunaan energi terbarukan semakin digalakkan oleh pemerintah dan aktivis lingkungan. Energi terbarukan dinilai sebagai solusi yang terbaik guna mengatasi sumber energi lama yang diperkirakan akan habis di tahun-tahun mendatang.
Energi terbarukan juga berpotensi menyerap banyak tenaga kerja. Berdasarkan laporan dari International Renewable Energy Agency (IRENA), secara global, pada tahun 2019, jumlah pekerja di sektor energi terbarukan mencapai 11,5 juta orang, naik 4,4% dari tahun 2018 yang berjumlah 10,98 juta orang.Â
Statistik ini merupakan gambaran positif bagi pengembangan energi terbarukan di Indonesia yang akan berdampak pada pertumbuhan ekonomi nasional.
Dasar hukum pengembangan energi baru terbarukan di Indonesia adalah Peraturan Pemerintah No. 79 Tahun 2014 tentang Kebijakan Energi Nasional.Â
Beberapa poin dalam peraturan ini adalah efisiensi sumber energi nasional, pengurangan persentase sumber energi nasional dari energi tak terbarukan, dan peningkatan persentase sumber energi nasional dari Energi Baru Terbarukan (EBT) yang ditargetkan mencapai 23% pada 2025.Â
Hal ini tentunya menjadi tanda keseriusan pembuat kebijakan terhadap energi sebagai modal pembangunan nasional dengan mengedepankan asas-asas pengelolaan lingkungan hidup sebagaimana diatur dalam Pasal 2 UU No. 32 Tahun 2009.
Namun, masih ada masalah dalam transformasi energi tak terbarukan ke energi terbarukan. Seperti biaya produksi listrik dari Energi Baru Terbarukan (EBT) yang mahal dan harga yang kurang kompetitif bagi investor, mengakibatkan investor enggan berinvestasi sehingga terjadi perlambatan transformasi energi dari energi tak terbarukan ke energi terbarukan.Â
Berdasarkan Laporan Kinerja Ditjen EBT Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) pada tahun 2020, nilai investasi di sektor energi terbarukan baru mencapai US$ 1,36 miliar atau hanya Rp19,1 triliun, sangat jauh dari target yakni US$ 36,95 miliar atau Rp535,8 triliun yang harus dikejar dalam waktu 5 tahun untuk mewujudkan peningkatan persentase pembangkit listrik Energi Baru Terbarukan (EBT) menjadi 23% pada tahun 2025.
Transformasi dari energi lama ke energi terbarukan tentu menimbulkan konsekuensi-konsekuensi yang tidak selamanya baik. Misalkan dari sudut pandang ekonomi, meskipun industri energi terbarukan berpotensi menciptakan lapangan kerja baru, tetapi ada harga yang harus dibayar, jutaan orang yang menggantungkan hidupnya pada sektor industri energi akan kehilangan pekerjaannya dan negara akan kehilangan sumber pendapatan dari korporasi energi tak terbarukan.Â
Kemudian dari sudut pandang ekologi, energi terbarukan berpotensi akan menimbulkan kerusakan lingkungan. Misalkan industri kelapa sawit yang dipakai sebagai campuran bahan bakar biofuel, konsesi perkebunan kelapa sawit menyebabkan deforestasi besar-besaran.Â