Mohon tunggu...
Amak Syariffudin
Amak Syariffudin Mohon Tunggu... Jurnalis - Hanya Sekedar Opini Belaka.

Mantan Ketua PWI Jatim tahun 1974

Selanjutnya

Tutup

Nature Pilihan

Kabar Sedih dari Aceh

24 Desember 2020   10:46 Diperbarui: 24 Desember 2020   10:55 310
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Foto Dok FKL, kondisi hutan di Kawasan Ekosistem Lauser, Soraya, Subusallam, Aceh, foto ini direkam dengan menggunakan drone oleh staf FKL pada 9 Januari 2019. Kamis (24/01/2018). (KOMPAS.COM/RAJA UMAR)

Barangkali anda sependapat dengan saya, bahwa sangat langka pemberitaan media massa tentang situasi dan kondisi apa saja mengenai Provinsi Aceh. Kalau ada beritanya, yang muncul adalah yang istimewa buat daerah itu, seperti bencana banjir, penangkapan perdagangan ganja, seringnya temuan dan penghancuran ladang ganja oleh Polisi. Meskipun daerah itu oleh beberapa kalangan masyarakatnya pernah disebutnya "Aceh adalah Serambi Mekkah". 

Karena minimnya berita yang semerbak dalam proses pembangunan nasional ini, menjadikan beberapa kawan saya bertanya, apakah provinsi itu sebagai daerah tertutup? Saya jawab: semestinya tidak. Yang jelas, Pemeritah Pusat tidak menganak-tirikan dalam proses pembangunan daerah dimana saja, asalkan masyarakatnya menginginkan kemajuan daerah itu.

Nyatanya, salah satu contoh adalah munculnya secara berturut-turut berita sedih mengenai situasi dan kondisi alam dan lingkungan hidup bagi rakyatnya. Pertama-tama, pernyataan resmi aparat pemerintah setempat, bahwa terjadi deforestasi (perusakan/pembalakan hutan) sekitar 20.000 hektar hutan setiap tahunnya di Aceh. Itu berarti, areal yang sangat luas dan berdampak merugikan berbagai unsur secara luas pula. 

Lalu, berita kebanjiran banyak pedesaan dibeberapa Kabupatennya oleh sungai yang berhulu dihutan pegunungan. Disusul berita, bahwa tahun ini petani Aceh menderita kerugian sebesar Rp. 114 milyar akibat 13.000 hektar sawah mereka terendam banjir. Kemudian muncul pula berita keluhan instansi BKSDA Aceh, bahwa masih terjadi tingginya konflik antara manusia (petani/penduduk pedesaan) dengan gajah Sumatera (Elephas maximus sumatrae). Seolah satu dengan lain peristiwa itu saling berkaitan.        

Barangkali kalaulah para pimpinan pemerintahan setempat (provinsi, kabupaten, kota) di Aceh mau mawas-diri tentang permasalahan dan bencana yang diberitakan itu atas tinjauan aspek lingkungan hidup, pelestarian alam, kemaslahatan masyarakatnya dimasa depan dan sejarah bumi Aceh diujung barat Sumatera itu, sehingga mau berupaya dan bertindak mencegah terjadinya kerusakan alam dan ekosistemnya.

 Itu kalaulah tidak ikut-ikutan mencari rejeki lewat korupsi atau penyalahgunaan kekuasaan. Pertama; dengan kewenangannya dia bisa menyetop deforestasi hutan alam Aceh dari para pembalak, apakah mereka itu perorangan, kelompok orang/organisasi ataupun kaum bermodal untuk dijadikan kebun kelapa-sawit. Belum pula kerusakan lingkungan oleh penambangan emas secara liar.

Alam asli bumi Aceh sebenarnya indah. Tidaklah salah kalau salah satu daerahnya di Kabupaten Aceh-Singkil yang berbatasan dengan provinsi Sumatera Utara, terdapat Taman Nasional Gunung Leuser. Hutan lebat dengan berbagai satwa langka seperti harimau, orang-utan, rusa sambar dan gajah yang antara lain penghuninya.  Hutan kawasan inipun sudah mulai dirambah. Saya beberapa kali ke provinsi itu. 

Yang pertama tahun 1970-an, naik satunya-satunya bus "Nasional" jurusan Medan-Banda Aceh yang laju perjalanannya sama dengan orang bersepeda karena kondisi jalan tak apslanya habis terkelupas menuju kota Lhok Seumawe lalu ke desa Cot Girek, lokasi proyek Presiden Sukarno berupa pabrik gula yang gagal terwujud karena rendahnya partisipasi masyarakat dan pemerintahan daerah setempat. Dimalam hari terkadang muncul harimau dari hutan sekitar untuk makan tebu tanaman pilot-project pabrik gula itu. 

Sayang, saya hanya bisa kira-kira seminggu ketika harus buru-buru diungsikan dengan pesawat cilik tipe Piper-Cub ke Medan karena ada informasi akan diculik oleh anak buah laskar Darul Islam (DI/TII) pimpinan Daud Beureuh yang menguasai pedesaan Lhok Seumawe waktu itu. Saya dicurigai sebagai inteligens yang membuat laporan kegiatan teroris itu. 

Padahal saya diundang oleh kepala badan koordinator perkebunan PTPN, seorang berpangkat Brigjen, untuk reportase tersendat-sendatnya pembangunan  pabrik gula pimpinan  beberapa ahli Polandia itu. Saya  juga melihat "jalur-gajah" dijalanan antara Pangkal-pinang ke Dumai tahun-tahun itu. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Nature Selengkapnya
Lihat Nature Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun