Mohon tunggu...
Alzulin Olvica Saputri
Alzulin Olvica Saputri Mohon Tunggu... Accounting at PT Medikaloka Serpong (RS Hermina Serpong), Master's student in accounting at Pamulang University

Adventures awaits just outside your door and stay focused and never give up 😉 Be The Reason Someone Smiles 😊

Selanjutnya

Tutup

Artificial intelligence

Literasi Digital di Era Deepfake: Ketika Hoaks Lebih Cepat dari Fakta

24 Juni 2025   20:48 Diperbarui: 24 Juni 2025   20:48 75
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi Deepfake. Foto: koleksi pribadi penulis freepik 

Di era ketika video bisa dimanipulasi dengan sempurna dan suara bisa ditiru oleh mesin, apakah kita masih bisa percaya dengan apa yang kita lihat dan dengar?"Jangan percaya dulu sebelum cek fakta." Kalimat ini mungkin terdengar klise, tapi menjadi kian relevan di tengah pesatnya perkembangan teknologi kecerdasan buatan (AI). Kini, informasi tidak lagi sekadar diproduksi oleh manusia, tapi juga oleh algoritma canggih---yang mampu menciptakan konten palsu seakurat kenyataan. Di sinilah tantangan besar literasi digital dimulai.

Deepfake dan Ancaman Baru
Deepfake bukan sekadar video lucu berwajah artis yang diedit. Teknologi ini bisa digunakan untuk membuat seseorang terlihat mengucapkan atau melakukan sesuatu yang sebenarnya tidak pernah terjadi. Di dunia politik, ini bisa jadi alat propaganda. Dalam konteks personal, bisa menjelma menjadi senjata pelecehan atau pencemaran nama baik.

Ironisnya, teknologi ini kian mudah diakses. Aplikasi berbasis AI generatif semakin banyak dan cukup ramah pengguna. Siapa pun bisa membuat konten manipulatif hanya dalam hitungan menit. Kecepatan persebarannya pun luar biasa---cukup satu klik untuk membuat sebuah video deepfake viral di TikTok, Instagram, atau WhatsApp group keluarga.

TikTok dan Budaya Klik Instan
Platform seperti TikTok memberi ruang bagi kreativitas dan ekspresi, namun juga menjadi kanal cepat penyebaran disinformasi. Video pendek berisi potongan pernyataan palsu atau narasi provokatif kerap dianggap 'kebenaran' karena tampil menarik dan mudah dicerna. Algoritma akan memperkuat echo chamber, mempertemukan pengguna dengan informasi yang hanya ingin mereka dengar.

Bagi generasi muda, yang kini menghabiskan waktu berjam-jam per hari di media sosial, tantangan ini amat serius. Mereka tumbuh dalam dunia serba visual dan cepat, di mana logika sering kalah dengan sensasi.

Literasi Digital: Harus Lebih dari Sekadar "Cek Fakta"
Literasi digital bukan hanya kemampuan menggunakan teknologi, melainkan juga kecakapan berpikir kritis, mengenali bias informasi, dan memahami bagaimana algoritma bekerja. Sayangnya, pendidikan formal di Indonesia masih tertinggal dalam hal ini. Kurikulum sekolah jarang menyentuh aspek etika digital dan pemahaman teknologi informasi secara mendalam.

Padahal, membekali generasi muda dengan kemampuan ini bukan pilihan---melainkan kebutuhan. Di era ketika hoaks lebih cepat tersebar daripada klarifikasi, publik membutuhkan kemampuan memilah informasi, bukan hanya membagikannya.

Etika AI: Di Mana Batasannya?
Etika penggunaan AI seharusnya tidak hanya menjadi tanggung jawab pengembang teknologi, tetapi juga pemerintah, institusi pendidikan, dan masyarakat. Regulasi terhadap konten manipulatif, peningkatan kapasitas literasi digital guru dan siswa, serta kampanye publik tentang hoaks dan deepfake harus segera diperkuat.


Lebih jauh, perlu ada dialog etis lintas sektor tentang batas penggunaan AI. Apakah boleh AI digunakan untuk meniru suara tokoh publik tanpa izin? Bagaimana jika deepfake digunakan untuk kampanye politik? Pertanyaan-pertanyaan ini tidak bisa dijawab hanya dengan pendekatan teknologi, tetapi juga dengan nilai-nilai kemanusiaan dan demokrasi.

Penutup: Siapkah Kita?
Ketika fakta bisa dipalsukan dan kepalsuan bisa dibuat seolah nyata, maka masa depan kebenaran bergantung pada kesadaran kolektif kita. Generasi muda harus dibekali dengan literasi digital yang tajam dan etika bermedia yang kuat.
Masa depan bukan hanya tentang teknologi yang semakin pintar, tetapi juga tentang manusia yang semakin bijak. Dan itu hanya mungkin jika kita mulai bertanya, meragukan, dan belajar memilah---sebelum ikut menyebarkan.

#LiterasiDigital #Deepfake #AI #Disinformasi #TikTok #EtikaAI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Artificial intelligence Selengkapnya
Lihat Artificial intelligence Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun