Legal Pluralisme
Pluralisme berasal dari bahasa Inggris pluralism, yang terdiri dari dua kata jamak (berbeda) dan isme (memahami), yang berarti berbeda dari satu hal). Definisi hukum adalah aturan atau kebiasaan yang dianggap mengikat secara resmi dan disetujui oleh otoritas atau pemerintah. Pluralisme hukum kerap diartikan sebagai pluralitas hukum. Pluralisme hukum berarti adanya lebih dari satu norma hukum dalam lingkungan sosial. Pluralisme hukum sering diartikan sebagai keragaman hukum. Pluralisme hukum berarti adanya lebih dari satu norma hukum dalam lingkungan sosial. Pada prinsipnya, pluralisme hukum mengkritisi apa yang oleh John Griffiths yang disebut sebagai ideologi sentralisme hukum.
Pluralisme hukum terus berkembang di masyarakat karena perkembangan kulturalisme lahir dari gerakan perubahan hukum yang berpihak pada masyarakat adat. Pluralisme hukum digunakan untuk mendorong negara mengakui keberadaan masyarakat hukum adat. Salah satu capaian gerakan ini adalah disahkannya ketentuan pengakuan dan penghormatan hak-hak tradisional kesatuan masyarakat adat dalam Pasal 18B UUD 1945 perubahan kedua tahun 2000. Muncul pula TAP MPR No. IX/2001. Reforma agraria yang juga mengatur tentang masyarakat adat tidak dapat dipisahkan dari pengaruh pluralisme hukum.
Dalam perjalanannya, pluralisme hukum ini tidak dapat dipisahkan dari sejumlah kritik, antara lain:
1. Pluralitas hukum dianggap tidak mendorong batas-batas konsep hukum yang digunakan;
2. Pluralisme hukum dianggap mengabaikan faktor-faktor sosioekonomi makrostruktural yang mempengaruhi munculnya sentralisme hukum dan pluralisme hukum. Selain itu, menurut Rikardo Simarmata, kelemahan penting lain dari pluralisme hukum adalah pengabaian terhadap keadilan.
Lagipula, pluralisme hukum belum bisa menawarkan sebuah konsep jitu sebagai antitesis hukum negara. Pluralisme hukum hanya dapat dipakai untuk memahami realitas hukum di dalam masyarakat.
Menurut kelompok kami, konsep pluralisme hukum sebagai bangsa Indonesia menekankan bahwa masyarakat memiliki caranya sendiri dalam menilai keadilan dan kebutuhannya untuk membentuk hubungan sosialnya. Namun, pluralisme hukum dapat menjadi ancaman serius bagi proses demokrasi Indonesia. Berdasarkan pluralisme hukum, semua produk hukum dapat digunakan untuk mempromosikan nilai-nilai feodalisme, otoritarianisme, dan ketidakadilan ekonomi dan bahkan membuka jalan menuju totalitarianisme. Indonesia adalah masyarakat majemuk, namun kita masih belum memiliki konstitusi yang kuat untuk mendukung pluralisme. Feodalisme masih sangat kental dalam segala aspek kehidupan masyarakat kita. Kita masih belum lepas dari bayang-bayang otoritarianisme yang masih menghantui kami, ditambah dengan ancaman kebangkitan totalitarianisme baru-baru ini semakin intensif. Oleh karena itu, pluralisme hukum tidak relevan dengan situasi sosial politik di Indonesia.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H