Mohon tunggu...
Alya Putri Hasana
Alya Putri Hasana Mohon Tunggu... Mahasiswi Ilmu Budaya

mahasiswi ilmu budaya yang belajar beretnografi

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Perihal Memilih Sekolah Mantan RSBI dan Aturan Menggelitiknya

25 Juni 2025   20:07 Diperbarui: 25 Juni 2025   20:07 18
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pendidikan. Sumber ilustrasi: PEXELS/McElspeth

"Minimal kalau gak masuk sekolah favorit Kota, ya favorit Kabupaten lah" 

ucap saya sembilan tahun yang lalu ketika akan melanjutkan jenjang pendidikan menengah pertama. Menjadi peserta didik sekolah dasar generasi pertama yang lulus dengan Kurikulum 2013, kalau dipikir-pikir beban juga ya masa-masa itu. Ingat sekali dibangkuu kelas enam diri ini masih harus menyelesaikan materi K-13 (Kurikulum 2013) dan ngebut mengejar materi KTSP (Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan). Kata Bu Guru saat itu sih soal ujian akan dibuat irisan (K-13 dan KTSP). Namun, apalah daya kata Bu Guru soal ujian lebih mirip model KTSP, peserta didik yang sudah belajar K-13 sebelumnya harus menyesuaikan tipe soal KTSP. Bagi saya entah K-13 maupun KTSP soal-soal ujian sekolah akan selamanya sulit. Iming-iming sekolah menengah pertama mulai terdengar ke telinga saya mendekati bulan-bulan menuju Ujian Nasional. Mulai dari pilihan dengan kedekatan jarak rumah-sekolah, lanjut sekolah satu yayasan dengan sekolah dasar, dan sekolah 'bagus' se Kabupaten saat itu. Beruntungnya saya saat itu karena tidak memiliki tekanan untuk melanjutkan ke sekolah 'favorit' dari orang tua, walaupun keluarga besar mengharapkan saya lolos di Sekolah Menengah Pertama yang letaknya di depan RS Panti Rapih itu. Hingga entah bagaimana mulanya saya ter-rayu untuk menjadi kan sekolah mantan RSBI (Rintisan Sekolah Bertaraf Internasional) menjadi target tempat belajar saya selanjutnya.

Diskursus Sekolah Favorit

Sungguh jika diingat-ingat kembali, rupanya hal besar yang membuat saya mengupayakan 'sekolah favorit' di salah satu Kabupaten Daerah Istimewa Yogyakarta itu karena title yang pernah disandangnya sebagai Rintisan Sekolah Bertaraf Internasional. Membayangkan betapa beruntung dan 'kerennya' saya jika bisa bersekolah di tempat yang secara historis pernah memberlakukan model pengajaran berbahasa Inggris sebelumnya. Dengan nilai pas-pasan di antara para pemilik nilai-nilai terbaik, saya pun berhasil menjadi siswi di sekolah tersebut. Bangga? Tentu. Menjadi bagian dari anak-anak cerdas dengan fasilitas sekolah yang baik, siapa yang tak bangga. Akan tetapi, renungan atas alasan saya memilih sekolah ini lah yang terpikir kembali di usia 21 tahun saat ini. Mengapa memang jika sekolah negeri itu mantan RSBI? Se-spesial apa? Dan kenapa bumbu 'sekolah favorit' itu langgeng hingga jenjang pendidikan selanjutnya? Jika ada sekolah favorit lantas berarti ada sekolah yang 'tidak favorit'? 

Alasan pemerintah memberlakukan rintisan Sekolah Bertaraf Internasional (SBI) saat itu salah satunya dengan harapan bahwa lulusan SBI dapat bekerja pada lembaga-lembaga internasional dan/atau negara-negara lain (Dharmaningtias, 2013). Itulah yang membuat pemerintah memberikan perhatian khusus untuk men-support sekolah-sekolah negeri yang masuk dalam kriteria 'Bertaraf Internasional'. Unik dan baru saya sadari bahwa bukankah model sekolah ini justru melebarkan ketimpangan pendidikan di Indonesia..? Bayangkan bahwa sekolah-sekolah negeri yang ingin diakui sebagai RSBI perlu mencapai standar mutu dengan penyesuaian guru, operasional, fasilitas, dan kurikulum sekolah. Lantas apa implikasinya? Ya sederhananya, sekolah yang semestinya tidak memberi beban biaya terlalu besar, maka mau tak mau muncul dana komite guna menopang kualitas lembaga pendidikan yang harus di upgrade jadi Berstandar Internasional. 

Aturan menggelitik: Kerudung Logo Sekolah

Tak hanya perihal alasan memilih masuk sekolah favorit saja yang muncul di ruang nostalgia saya. Namun, salah satu aturan menggelitik yang apabila teringat akan membuat saya geleng-geleng kepala dan tersenyum geli. Kebanggaan menjadi siswi di sekolah dengan julukan 'Tiada hari tanpa prestasi' ini dimulai ketika para tenaga didik mulai mengarahkan bapak ibu wali siswa untuk membeli seperangkat seragam sekolah. Gratis? Tentu tidak, seperangkat atribut khusus seperti almamater, sabuk, topi, badge seragam, batik sekolah, dan kerudung untuk siswi muslim. Tiada yang aneh pada waktu itu ketika mengetahui lembaga pendidikan ini benar-benar melekatkan identitasnya pada atribut pendukung melalui kerudung berlogo sekolah. Lagi-lagi karena renungan nostalgia yang membuat saya teringat momen menegangkan harus berdiri berbaris di lapangan dan mendapat teguran keras karena mengenakan kerudung lain yang bukan berlogo sekolah. Situasi tegang dan nada bicara tajam menanyakan alasan kenapa tidak mengenakan kerudung sekolah. Alasan dua hingga tiga siswi di lapangan itu (termasuk saya) masuk akal karena kondisi cuaca dua hari sebelumnya yang hujan tanpa matahari. "Mbak, kerudung itu aturan sekolah ya, tolong dipatuhi" saat itu yang dirasakan hanya malu dan terlintas pikiran "Mending tidak berangkat saja tadi". Saya yang 21 tahun sekarang hanya bisa tertunduk bergeleng ketika diskusi di Kelas Antropologi Pendidikan membicarakan topik 'Aturan-aturan sekolah di Indonesia'. Diskusi membicarakan bahwa budaya penyeragaman ini benar-benar mengindikasi adanya kontrol kuasa 'gajah-gajah besar' pada kawanan semut di sekitarnya. Pendidikan yang seharusnya bisa lebih memprioritaskan kualitas pembelajaran dan capaian peserta didik, tetapi faktanya tenaga dan pikiran habis untuk membuat pengajar dan pembelajar tunduk pada sistem kuasa. Adakah aturan-aturan menggelitik di sekolah teman-teman? Bagaimana menurut anda akan aturan itu?

Referensi:

Dharmaningtias, D. S. (2013). Penghapusan kebijakan rintisan sekolah berstandar internasional (RSBI). Jurnal Politica Dinamika Masalah Politik Dalam Negeri dan Hubungan Internasional, 4(2).

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun