"Lo, udah chekcout baju lebaran ini belum, Sis? Sumpah sih ini harganya murah banget, banyak yang beli lagi. Nyesel sih Elo kalau nggak chekcout."
"Modelan bajunya Gua banget sih, ada gratis ongkirnya nggak?"
"Free ongkir dong, nih Gua kasih voucher."
"Asik! Gas checkout!"
Percakapan singkat di atas adalah salah satu bukti perkembangan teknologi yang kita rasakan di era digitalisasi saat ini. Belanja secara online atau disingkat sekarang dengan istilah checkout menjadi bagian gaya hidup remaja seperti kita. Meluasnya kemajuan teknologi, membuat berbelanja tidak sebatas di toko-toko yang sering kita jumpai di pasar. Dengan berbekalkan handphone dan internet saja, kita sudah bisa mendapatkan barang atau jasa yang kita inginkan dengan lebih mudah dan cepat.
Contohnya saja seperti membeli baju lebaran, bagi mereka yang tidak suka berdesak-desakan di pasar maupun mal, belanja online adalah solusinya. Terdapat banyak produk lainnya juga yang ditawarkan di pasar online, seperti: makanan, pakaian, alat elektronik, skincare, dan kebutuhan sehari-hari semuanya tersedia hanya dengan satu kali klik saja. Fenomena ini sering terjadi di kota-kota besar, namun tidak menutup kemungkinan sudah merambah ke daerah-daerah yang bahkan jarang tersentuh oleh teknologi.
Beberapa alasan kenapa belanja online membanjiri kalangan remaja. Salah satunya karena adanya kemudahan dan kenyamanan. Platform E-commerce yang sudah biasa kita temukan seperti Shopee, Lazada, Tokopedia, dan marketplace lain pastinya selalu hadir untuk memanjakan kita dengan kemudahan memilih banyak produk, mencari harga yang cocok di kantong, hingga pembayarannya yang praktis. Selain itu dengan adanya promo-promo yang diberikan seperti free ongkir alias gratis ongkos kirim, cashback, dan lainnya membuat remaja semakin mau untuk berbelanja secara terus-menerus walaupun barang yang dibeli sebenarnya bukanlah kebutuhan mereka.
Ternyata faktor lain yang menyebabkan remaja jadi kecanduan belanja online adalah bagaimana influence media sosial Instagram, TikTok, dan lainnya yang berasal dari influencer. Ketika seorang konten kreator mempromosikan satu barang atau jasa, kebanyakan dari mereka juga remaja sebagai penontonnya pun ikut tertarik untuk ikut mencoba membeli produk tersebut dengan alasan "takut ketinggalan tren" atau istilah kerennya Fear of Missing Out (FOMO). Perasaan takut ketinggalan tren, takut kehabisan kesempatan, sehingga membuat remaja tergoda membeli barang yang diskon besar-besaran karena takut ketinggalan promo. Hal ini adalah sumber munculnya perilaku konsumtif yang semakin kuat pada remaja sekarang.
Perilaku konsumtif adalah kebiasaan seseorang yang senang mengonsumsi atau membeli barang dan jasa secara berlebihan dan mengenyampingkan kebutuhan yang seharusnya lebih didahulukan. Hal tersebut sering kali dikarenakan adanya keinginan gaya hidup, atau sekadar ikut-ikutan.
Tidak hanya itu, hal ini dapat meningkatkan risiko penipuan online. Banyak diluar sana remaja yang tidak berhati-hati terhadap toko-toko online yang tidak dipercaya sehingga, berisiko tertipu dalam hal transaksi atau mendapatkan produk yang tidak sesuai ekspektasi. Sehingga barang yang dibeli tidaklah bertahan lama dan pemakaiannya tidak maksimal.