Mohon tunggu...
Alodia azzahra
Alodia azzahra Mohon Tunggu... Lainnya - Communication bachelor who like to learn a new things. Special interest in : Digital marketing, politics & law, inclusive education

Ora Et Lebora

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Implementasi Hak ABK lewat Inklusi

16 Mei 2019   16:57 Diperbarui: 16 Mei 2019   17:22 104
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
citychurchtallahassee.com

"A child is like a butterfly in the wind. Some can fly higher then others, but each one flies the best it can. Why compare one against the others? Each one is different, each one is special, and each one is beautiful."- Anonymus.

Apa yang terlintas di benak anda jika mendengar kata 'anak-anak'? Itulah mereka sekumpulan manusia dengan jiwa mereka yang bebas dan pola pikir mereka yang imajinatif. Seringkali kita sebagai orang dewasa tidak memahami perilaku atau pola pikir yang dilakukan anak-anak dan menganggap mereka berlebihan dalam berpikir dan berperlaku.

Perilaku adalah semua tindakan  atau tingkah laku seorang individu yang dapat dilihat, didengar, dan dirasakan oleh indera perasa kita. Pola perilaku biasanya mengalami perkembangan seiring berlanjutnya usia kita. Contohnya anak pada usia 7+ tahun biasanya sudah mampu untuk mengetahui perubahan gambar pada dirinya, yakni anak diusia 7+ tahun secara khusus peka terhadap perasaan malu, marah, atau kecewa. Dimana pada usia ini anak-anak belajar untuk mengontrol emosional mereka. Namun apa yang terjadi bila anak-anak seusia tersebut berperilaku sebaliknya? Pastilah selintas kita berpikir bahwa mereka adalah anak'abnormal' atau ABK. Nah, disini saya ingin bertanya lagi apa yang anda pikirkan ketika mendengar kata  ABK? Tentunya ketika kita berbicara tentang Anak Berkebutuhan Khusus selalu terkait dengan  'psycally defect' (cacat fisik) seperti disabilitas atau ada juga yang beranggapan 'mental ill' (cacat mental).

Namun tahukah kalian bahwa Anak Berkebutuhan Khusus berbeda dengan anak-anak disabilitas? Penulis telah melakukan riset kecil yang dilakukan dengan cara wawancara terhadap satu yayasan sosial di daerah Soka Salatiga, Jawa Tengah. Yayasan itu bernama Gadah Ati yang mana yayasan yang digagas oleh Ibu Esther Jacobus dan Ibu Dewita Sarajar ini telah berdiri sejak tahun 2015 dan bergerak dibidang pendidikan inklusif  yang berfokus menangani Anak Berkebutuhan Khusus. Yayasan Gadah Ati sendiri saat ini telah bekerjasama dengan salah satu sekolah penyelenggara pelayanan pendidikan inklusif untuk melakukan assasment dan pendampingan terhadap ABK, serta melayani konsultasi bagi guru dan orangtua siswa ABK. Dari hasil wawancara yang penulis lakukan dengan salah satu inisiator yayasan tersebut yang bernama Ibu Esther Jacobus, penulis menemukan fakta yang cukup mencengangkan bahwa ternyata Anak Berkebutuhan Khusus berbeda dengan anak disabilitas. Anak disabiltas adalah anak dengan keterbatasan fisik atau dapat dikatakan sebagai anak penyandang ketunaan, sedangkan Anak Berkebutuhan Khusus adalah anak dengan kemampuan kognitif yang bisa dikatakan berbeda dengan anak-anak pada umumnya, seperti: Cerdas istimewa, lamban belajar, atau gangguan emosional. Keduanya (ABK dan Disabilitas) memang memiliki indikator yang sama, hanya yang membedakannya adalah Disabilitas mulai lahir hingga dewasa, sedangkan ABK hanya dibatasi pada usia anak, biasanya usia 5-12 tahun.

Perbincangan mengenai ABK terkadang masih menjadi hal yang tabu untuk dibicarakan, sebagian orang masih merasa 'malu' jika membicarakan hal semacam ini, bahkan ada yang menganggap bahwa seharusnya anak-anak seperti itu seharusnya diberikan ruang lingkup 'khusus'  untuk mereka. Padahal sebaiknya kita sebagai manusia yang katanya 'normal' tidak seharusnya membedakan antar sesama. Dimulai dari pendidikan, sebenarnya pemerintah telah mencanangkan regulasi untuk memberikan hak yang sama dalam bidang pendidikan bagi anak-anak nasional serta memberikan perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi, hal ini sudah dituangkan dalam UU perlindungan anak, UU No. 23 Tahun 2002 pasal 4. Serta sudah diberlakukannya Program Sekolah Ramah Anak di beberapa daerah di Indonesia.

Program SRA ini sendiri disediakan guna menciptakan sekolah yang aman,bersih, sehat,hijau, inklusif dan nyaman bagi perkembangan fisik, kognisi, dan psikososial anak-anak, termasuk anak-anak yang membutuhkan layanan pendidikan khusus.
Dalam memberikan pendidikan inklusi itu sendiri anak yang berkebutuhan khusus nantinya akan diberikan ruang yang sama dengan anak-anak regular. Menurut Ibu Esther Jacobus salah satu inisiator di Yayasan Gadah ati mengatakan "Kalau berbicara soal pendidikan inklusi mereka dicampur,nah nanti yang dimodifikasi kurikulumnya disesuaikan dari apa yang menjadi hambatan yang ada di anak-anak itu."

Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun