Mohon tunggu...
Almizan Ulfa
Almizan Ulfa Mohon Tunggu... Pensiunan Peneliti Utama Kementerian Keuangan RI -

Just do it. kunjungi blog sharing and trusting bogorbersemangat.com, dan, http://sirc.web.id, email: alulfa@gmail.com, matarakyat869@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Politik

Dilema Rezim Kabinet Reformasi

5 Februari 2018   16:10 Diperbarui: 7 Februari 2018   15:06 808
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Saya yakin hampir semua netizen tahu bahwa tahun depan kita akan mengadakan perhelatan akbar demokrasi lima tahunan. Perhelatan akbar demokrasi lima tahunan itu lebih istimewa di tahun 2019 nanti. Di tahun ini, untuk pertama kalinya kita mengadakan Pemilu serentak untuk memilih presiden (Pilpres), memilih legislator daerah dan pusat (Pileg) termasuk pemilihan legislator Dewan Perwakilan Daerah (DPD). 

Memang tangal 29 April 2019 itu masih lebih dari satu tahun lagi. Masih relatif lama tetapi relatif singkat untuk membangun isu-isu strategis yang perlu diangkat. Penulis mencoba membangun beberapa isu strategis dan mulai menulis di kolom Kompasiana kita ini. Setengah jalan penulis mencoba melihat isu-isu serupa yang mungkin diangkat disini dan memulainya dengan mencari artikel yang terkait pada jendela mesin pencari Kompasiana dengan menggunakan kata kunci "Pemilu 2019." Mesin pencari itu menjawab dengan deretan panjang artikel Kompasianer mulai dari yang terkini hari ini, 5 Februari 2018, dan yang paling awal yang sempat penulis lihat tayang Mei 2016. Penulis cukupkan sampai disini saja walaupun ada kata "load more" dari jawaban mesin pencari itu. 

Selain dari itu secara kebetulan penulis kemarin pagi, 4 Februari 2019, menemukan artikel yang terkait dengan isu pemilu 2019. Artikel yang ditulis oleh Kompasianer De Kalimana ini diberi judul "{Kartu Kuning bagi Pemerintah] Ancaman Ledakan Penduduk. Ini memang isu penting dalam ekonomi pembangunan Indonesia. Kalimat terakhir artikel ini adalah:

"Adalah sangat menarik bila pada momentum Pilpres 2019 yang akan datang  permasalahan kependudukan ini dijadikan salah satu program kampanye yang  wajib disampaikan oleh para kandidat."

Penulis juga menyenangi topik ekonomi pembangunan dan ini mencakup sistem dan iklim demokrasi, yang diantaranya mencakup isu-isu stabilitas pemerintahan. Jargon Orba "Stabilitas Pemerintahan Prasyarat Pembangunan Ekonomi," saya kira masih relevan. Di Era Orba itu pemerintah sangat stabil dan kuat. Reshuffle kabinet dapat dihitung dengan jari selama 32 tahun Presiden Soeharto berkuasa. 

Hal sebaliknya terjadi di Era Reformasi sekarang ini. Presiden Gus Dur relatif terbanyak yang melakukan reshuffle, diikuti oleh Jokowi sebagai terbnyak kedua (4 kali). SBY lima kali melakukan reshuffle untuk 10 tahun pemerintahanya (Kabinet Bersatu I dan II). Dan, yang menarik Kabinet Gotong Royong Megawati Sukarno Putri tidak melakukan reshuffle kabinet sama sekali. Sebagai rujukan silahkan "Jokowi Memang Perlu Bergabung dengan Partai." . Sistem Kabinet Presidensil de jure tetapi sistem kabinet parlementer de facto.

Pertanyaannya sekarang adalah kenapa fenomena buruk tersebut terus berlanjut? Jawaban yang plausible (masuk akal) adalah sistem pileg dan pilpres kita menghasilkan Capres terpilih yang lemah sehingga pemerintah tidak stabil. Presiden cenderung mendapat tekanan ketika memilih menteri-menteri kabinet yang dalam Penataran P4 Orba dulu disebut sebagai "Politik Dagang Sapi." Lihat misalnya, artikel Kompasianer Irfan Wahidi "Asal Usul Istilah "Politik Dagang Sapi" 

Lebih miris lagi, setelah berjalan kurang dari dua tahun presiden selalu didesak sejauh ini untuk melakukan reshuffle. Lebih-lebih miris lagi, presiden terkadang juga terkesan tidak begitu berkuasa untuk mencopot menteri kabinet yang dianggap kurang baik kinerjanya dan/atau yang tidak sesuai dengan janji kampanye Capres. 

Lihat kasus terkini dulu yaitu beberapa kasus Presiden Jokowi. Misalnya, beliau kelihatannya terpaksa komromi untuk mengizinkan Menteri Perindustrian Air Langga Hartarto merangkap jabatan Ketua Umum Partai Golkar. Ini dinilai banyak pengamat politik sebagai tindakan yang tidak konsisten dan melanggar janji kampanye. Beliau juga terkesan tidak berdaya untuk mencopot Menteri KLH Siti Nurbaya dan Menteri Perdagangan Enggartiasto Lukita. 

Untuk kasus Menteri KLH Siti Nurbaya lebih lengkap dapat klik disini "Menteri ini buat Presiden Jokowi murka karena hambur-hamburkan anggaran." Untuk kasus Menteri Perdagangan Enggartiasto Lukita dapat dilihat disini, misalnya "Kesal Ekspor Minim, Jokowi Ancam Bubarkan ITPC." 

Walaupun umumnya publik dapat mentolerir kasus Presiden Jokowi itu tetapi tersirat, mungkin juga ada yang tersurat, mereka menginginkan agar kasus-kasus seperti ini tidak terulang lagi pasca Pemilu 2019. Dengan kata lain, pasca Pemilu 2019, publik mendambahkan pemerintahan yang kuat dan stabil seperti di Era Orde Baru. Mungkinkah? Caranya?

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun