Seorang menteri kebudayaan Fadli Zon menuai banyak komentar dan kritik dikarenakan sebuah ucapannya yang menegaskan bahwa pemerkosaan massal yang terjadi pada tahun 1998 hanyalah sebuah rumor dan tidak pernah benar benar terjadi, ia berpendapat bahwa pemerkosaan ini hanya sebatas cerita tanpa adanya bukti.
Seperti yang banyak org ketahuai bahwa sejarah adalah sebuah masa yang tidak akan pernah dilupakan dan harus selalu diingat sampai kapanpun. Seperti tragedi pada tahun 1998 dimana pada saat itu terjadi banyak sekali kerusuhan dikarenakan pelanggaran HAM yang merugikan banyak masyarakat indonesia seperti pemerkosaan sampai pembunuhan. Pemerkosaan pada tahun 1998 itu merupakan sebuah pemerkosaan yang dilakukan terhadap banyak perempuan di Indonesia keturunan tionghoa.
Bukan hanya melakukan pemerkosaan tetapi juga dilakukan penganiayan terhadap sebagian korban. Pada tragedi tersebut, terdapat satu wanita aktivis HAM yang menjadi korban, ia ditemukan sudah tidak bernyawa, di dalam kamarnya sendiri pada 9 Oktober 1998. Ita Martadinata, ia merupakan salah seorang yang akan menyampaikan sebuah keasksiannyaa terhadap pemerkosaan massal yang terjadi pada tahun 1998 didepan PBB. Ita juga merupakan salah satu perempuan yang menjadi korban pemerkosaan massal pada saat itu, tetapi naasnya ia tidak sama sekali sempat untuk menyuarakan suaranya sebagai saksi sekaligus korban karena ditemukan sudah tergeletak tewas secara misterius.
Tragedi seperrti pemerkosaan atau pelecehan seksual marak sekali terjadi sejak saat itu, PELAPOR PBB kekerasan terhadap perempuan yaitu Radhika Coomaraswamy mengungkapkan bahwa sebagian korban atau kebanyakan orang tidak berani untuk mengungkapkan fakta seperti melakukan pelaporan karena merasa memiliki tekanan yang membuat mereka merasa takut dan terancam jika mereka melaporkan hal keji tersebut.
Peristiwa sejarah yang sangat pilu ini ditepis begitu saja oleh Fadli Zon ditengah maraknya “penulisan ulang sejarah indonesia” yang diungkapkan oleh Presiden Indonesia Prabowo subianto.
Fadli Zon di dalam sebuah wawancara IDN TIMES, mengatakan bahwa tidak adanya bukti terkait peristiwa pemerkosaan dan kekerasaan perempuan pada saat itu, ia juga mengklaim dan menganggap bahwa peristiwa pemerkosaan massal pada tahun 1998 tidak pernah ada di dalam penulisan buku sejarah. “Pemerkosaan massal kata siapa itu? Enggak pernah ada proof-nya. Itu adalah cerita. Kalau ada tunjukkan, ada enggak di dalam buku sejarah itu?" Ucapnya pada saat wawancara hari Rabu tanggal 11 Juni 2025.
Namun pada kenyataannya, Presiden B. J. Habibie telah membuat pernyataan resmi dalam sebuah pidato yang dilaksanakan pada 14 Agustus 1998, ia mengakui adanya pelanggaran HAM salah satunya mengenai kekerasan dan perundungan seksual terhadap perempuan. “Dan rumah penduduk tersebut bahkan disertai tindak kekerasan dan perudungan seksual terhadap kaum perempuan, terutama dari kelompok etnis Tionghoa," ucapnya.
Pemerkosaan massal pada kerusuhan 1998 juga sudah diungkap kebenarannya oleh TGPF pada masa pemerintahan B. J. Habibie. Namun peristiwa keji ini tetap dianggap sebagai rumor oleh seorang menteri kebudayaan, Fadli Zon yang membuat banyak orang tidak dapat menerimanya dan menganggap bahwa ucapannya sangat tidak pantas serta menyakitkan. Akibat hal ini, banyak sekali orang yang berpendapat bahwa Fadli Zon juga merupakan komplotan atau anggota daripada orang yang menyangkal sebuah kebenaran dan berusaha menyingkirkan perbuatan keji pelanggaran HAM dari publik dan kehidupan masa kini.
Tindakan pelanggaran HAM terutama pemerkosaan dan kekerasan seksual sangat berdampak buruk dan bisa menciptakan ingatan yang sangat pilu bagi banyak perempuan. Perempuan seharusnya dapat menjalankan hidup tanpa adanya bayang-bayang ketakutan, tetapi realitas nya justru berbanding terbalik. Banyak perempuan yang memilih menjalani hidup dengan menutup diri, karena harus menyesuaikan hidupnya dengan lingkungan yang tidak dapat menjamin rasa aman kepada mereka.
Pemerkosaan massal pada 1998 selain merupakan tindakan pelanggaran HAM, tetapi juga merupakan pelanggaran terhadap pancasila terutama pada sila kedua yaitu “kemanusiaan yang adil dan beradab”. Pemerkosaan secara perlahan-lahan telah menghapuskan makna keadilan, kemanusiaan dan perilaku beradab serta penghormatan yang seharusnya dapat dimiliki oleh semua masyarakat indonesia, terutama perempuan indonesia.
Dengan maraknya kasus pemerkosaan dan pelecehan seksual terhadap perempuan telah memberikan fakta nyata mengenai belum adanya atau tersingkirnya perlindungan dan suatu penghormatan yang rata terhadap kaum perempuan. Perempuan hidup dalam rasa ketakutan bukan karena hal-hal remeh semata, melainkan ketakutan tersebut tumbuh dari perasaan diam dan cerita hingga sejarah yang setiap kali diucapkan selalu saja disangkal.