Seperti yang kita ketahui bahwa program “wajib belajar 12 tahun” masih sangat dikedepankan, padahal realitas di lapangannya masih sangat jauh dari harapan. Banyak anak yang terpaksa menghentikan pendidikannya, bukan karena mereka tidak ingin belajar, tetapi karena kehidupan mereka yang memaksakan kehendak tersebut, dalam artian mereka memang harus mengikuti arah kehidupannya walaupun mereka tidak ingin.
Putus sekolah sering kali dianggap sebagai kegagalan pribadi, banyak dari sebagian orang berfikir bahwa memang anak tersebut tidak ingin untuk bersekolah, tidak ingin untuk menjalankan pendidikannya, padahal sesungguhnya ini merupakan suatu tantangan sosial dan ekonomi yang belum dan sangat sulit terselesaikan.
Fenomena ini tidak lahir dengan sengaja, Data Badan Pusat Statistik tahun 2024 menunjukkan bahwa angka partisipasi sekolah pada kelompok usia 16–18 tahun terus mengalami penurunan atau berhenti berkembang, penurunan ini banyak sekali terjadi di sejumlah wilayah pedesaan dan wilayah tertinggal. Faktor penyebabnya sangat banyak, namun hal ini paling sering disebabkan pada akar masalah yang sama, seperti salah satunya adalah permasalahan sosial dan ekonomi.
Dalam permasalahan tersebut, banyak sekali anak-anak yang harusnya sekolah dan menimba ilmu namun kenyataannya malah berbanding terbealik. Mereka diharuskan bekerja untuk membantu ekonomi rumah tangga, untuk membantu ekonomi keluarganya. Banyak anak-anak yang putus sekolah dan menikah muda karena mereka memiliki tekanan ekonomi di dalam keluarga atau terkadang banyak anak-anak yang putus sekolah karena terpaksa akibat tidak mampu mengikuti beban biaya sekolah yang cukup memberatkan, mulai dari ongkos seragam, transportasi, hingga keperluan digital.
Namun anak-anak yang putus sekolah tidak hanya terjadi di kota kecil atau daerah tertinggal tetapi juga terjadi di kota-kota besar, walaupun di kota besar fasilitas nya sudah sangat cukup dan tidak kekurangan, namun tekanan sosial dan sistem belajar di kota-kota justru terbilang lebih kaku yang justru malah membuat banyak siswa merasa tidak nyaman atau tidak cocok dengan “standar pintar” yang dibuat. Padahal setiap anak punya cara unik untuk berkembang, tetapi standar pendidikan di kota justru membatasi perkembangan anak tersebut dengan suatu “standar pintar” yang dibuat.
Hal ini terjadi karena pendidikan di Indonesia belum cukup memberi ruang untuk perbedaan, seperti ukuran pada keberhasilan anak yang masih terpaku pada nilai dan kelulusan, bukan proses dan potensi yang dimiliki anak tersebut, tekanan dalam akademik yang tak realistis, sistem pengajaran yang seragam dan menindas kreativitas, hingga minimnya pendampingan emosional terhadap anak-anak. Hal ini yang membuat mereka memilih untuk putus sekolah karena ketidaknyamanan dan tekanan yang membuat mereka merasa gagal.
Sistem pendidikan seharusnya menjadi alat pemberdayaan, tetapi dalam kasus seperti ini justru pendidikan malah menjadi penyebab keterpinggiran bagi seorang anak. Sistem pendidikan saat ini terlalu berfokus kepada pengukuran nilai untuk mengecap seseorang sebagai orang yang sukses dan menyingkirkan fakta bahwa setiap anak punya cara belajar yang unik, latar belakang yang berbeda, dan tantangan yang tidak sama. Anak yang terpaksa keluar dari sekolah bukan berarti tak mampu belajar, tetapi mereka hanya sedang melawan sesuatu serta kenyataan yang tidak ingin mereka pilih.
Keluar dari sekolah bukan berarti pintu masa depan tertutup, tetapi mereka yang keluar sekolah masih bisa melaksanakan pendidikannya dengan membuka jalur alternatif melalui pelatihan, pendidikan nonformal, atau ruang belajar berbasis komunitas. Karena belajar tak harus seragam dan setiap anak berhak mempunyai harapan. Karena pada akhirnya, berhenti sekolah bukan berarti berhenti bermimpi, anak-anak yang berhenti sekolah masih bisa berjalan menuju masa depan. Tidak boleh menghakimi arah dan langkah yang mereka pilih, tapi memastikan ada jalan, cahaya, dan harapan di sepanjang langkah yang merek pilih tersebut.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI