Setiap pagi, jutaan anak berseragam berangkat ke sekolah. Orang tua berharap mereka menjadi "pintar", sementara guru sibuk mengejar target kurikulum. Kita semua familier dengan rutinitas ini. Namun, pernahkah kita berhenti sejenak dan bertanya: untuk apa sebenarnya semua ini? Apakah pendidikan sekadar transfer ilmu dan perolehan ijazah untuk bekal mencari kerja? Atau ada sesuatu yang lebih mendasar yang seringkali kita lupakan? Pertanyaan ini mungkin terdengar sederhana, tetapi jawabannya akan menentukan wajah generasi masa depan. Di sinilah filsafat pendidikan berperan, bukan sebagai konsep yang mengawang-awang, tetapi sebagai kompas yang mengarahkan kembali tujuan praktis pendidikan kita sehari-hari.
Mengapa perbincangan tentang filsafat pendidikan menjadi begitu mendesak saat ini? Kita hidup di era disrupsi, di mana informasi melimpah ruah, tetapi kebijaksanaan terasa langka. Sistem pendidikan kita seringkali lebih fokus pada aspek "bagaimana" (metode mengajar, teknologi pembelajaran) tanpa pernah mengupas tuntas aspek "mengapa" (tujuan hakiki pendidikan). Akibatnya, kita melihat fenomena seperti siswa yang cerdas secara akademis tetapi kurang memiliki empati, atau lulusan yang terampil secara teknis namun gamang dalam menghadapi kompleksitas kehidupan. Isu-isu seperti degradasi moral, krisis kesehatan mental di kalangan pelajar, dan ketidaksiapan lulusan menghadapi dunia kerja yang dinamis adalah beberapa kasus nyata yang menunjukkan adanya "kekosongan" dalam fondasi pendidikan kita. Filsafat pendidikan mengajak kita untuk menengok kembali akar persoalan ini.
Filsafat pendidikan pada dasarnya adalah studi yang mempertanyakan hakikat, tujuan, dan metode pendidikan. Secara teoretis, ia memberikan landasan berpikir, sementara secara praktis, ia memandu tindakan di ruang kelas hingga ke level kebijakan.
Konsep Dasar: Peta Jalan Pendidikan
Secara sederhana, filsafat pendidikan bertanya, "Manusia seperti apa yang ingin kita bentuk melalui sekolah?". Jawaban atas pertanyaan ini melahirkan berbagai aliran, misalnya:
Esensialisme: Aliran ini percaya ada pengetahuan inti (esensial) yang harus diwariskan dari generasi ke generasi, seperti membaca, menulis, dan berhitung. Tujuannya adalah membentuk individu yang berpengetahuan dan berbudaya.
Progresivisme: Dipelopori oleh John Dewey, aliran ini menekankan bahwa pendidikan harus berpusat pada siswa dan pengalamannya. Belajar adalah tentang memecahkan masalah nyata, bukan sekadar menghafal teori. Tujuannya adalah membentuk individu yang kritis, kreatif, dan adaptif.
Rekonstruksionisme: Aliran ini lebih jauh lagi, menyatakan bahwa pendidikan harus menjadi agen perubahan sosial. Sekolah tidak hanya mengajarkan dunia sebagaimana adanya, tetapi juga bagaimana seharusnya dunia itu menjadi lebih baik dan adil.
Bagaimana aliran-aliran ini terlihat dalam praktik? Bayangkan sebuah pelajaran tentang sampah.
Guru esensialis mungkin akan fokus mengajarkan jenis-jenis sampah, proses daur ulang secara kimiawi, dan peraturan pemerintah terkait pengelolaan sampah. Pengetahuan dasar dianggap yang utama.
Guru progresif akan mengajak siswa langsung ke lingkungan sekitar, mengidentifikasi masalah sampah di sekolah, lalu berdiskusi untuk menciptakan solusi praktis, misalnya membuat proyek kompos atau kampanye pengurangan plastik. Pengalaman langsung dan pemecahan masalah menjadi kunci.
-
Beri Komentar
Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!