Dalam setahun saya bisa mengunjungi Yogyakarta lebih dari tiga kali. Terakhir, tanggal 31 Mei 2018 kemarin saya mengantar istri ke rumah mertua untuk merayakan lebaran di kota pelajar ini. Saya sendiri masih ke Bandung dan baru balik ke Yogya lagi menjelang lebaran nanti.
Ya, Yogya adalah kota yang sangat akrab dalam kehidupan saya. Saya pernah menghirup udaranya selama 9 tahun, dari tahun 1983 sampai dengan tahun 1992. Di kota ini saya mendapat kesempatan untuk menimba ilmu mulai dari tingkat madrasah aliyah hingga perguruan tinggi.
Banyak kenangan dan pengalaman hidup yang saya dapatkan di kota ini, termasuk yang paling berharga adalah mendapatkan pasangan yang telah menemani perjalanan hidup saya selama lebih dari 25 tahun dan telah memberikan hadiah 3 anak gadis manis yang kini telah beranjak dewasa.
Setiap kali bercerita tentang Yogya, saya selalu terkenang-kenang dengan potongan syair lagu Ebiet G. Ade, "Yogyakarta".
Di sini aku ditempa, di sini aku dibesarkan
Semangatku, keyakinanku, keberadaanku pun terbentuk
Masih aku pelihara kerinduanku yang dalam
Setiap sudutmu menyimpan derapku, Yogyakarta
Setiap sudutmu menyimpan langkahku, Yogyakarta
Tapi kali ini saya tidak ingin bercerita tentang romantisme kota yang memang sudah romantis dan selalu membuat rindu itu.
Kali ini saya ingin sedikit bercerita tentang proses "Islamisasi" sebuah kampung yang langsung saya ikuti dan mengamati selama lebih dari dua puluh lima tahun.