Mohon tunggu...
Alirman Djamereng
Alirman Djamereng Mohon Tunggu... Sales - Flowman but not Superman

Berusaha konsisten untuk menulis yang bermanfaat...alirmandjamereng73@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Kesan dalam Pementasan Kolosal "I Lagaligo"

7 Juli 2020   13:27 Diperbarui: 7 Juli 2020   13:25 69
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Setahun lalu, saya diberikan kesempatan menyaksikan pentas Kolosal " I lagaligo" . Sebuah cerita mitos yang diangkat dari naskah epik asal Sulawesi "Sureq I lagaligo". Cerita tentang penciptaan manusia di tanah Bugis, Sulawesi Selatan. Cerita ini ditulis antara Abad ke 13 - 15, menggunakan bahasa Bugis Kuno dan konon lebih panjang dari naskah sekelas Mahabrata atau Ramayana.

Para Dewa Dunia Atas (Langit) dan Dewa Dunia Bawah (Air) resah karena Dunia Tengah (Bumi) hampir kosong melompong tanpa penghuni. Kedua Dewa tersebut kemudian berkolaborasi mengutus putra dan putri mereka, Batara Guru dan We Nyiliq Timoq untuk menyatukan diri, berkembang biak dan menciptakan kehidupan di Dunia Tengah (Bumi). Dari hubungan keduanya lahirlah kembar emas bernama Sawerigading dan saudari perempuannya yang cantik jelita bernama We Tenriabeng. Namun, malapetaka dimulai karena ternyata kedua saudara itu justru saling jatuh cinta. Cinta terlarang antara saudara kembar itu emas itu harus dihindari untuk menyelamatkan Dunia Tengah (Bumi). We Tenriabeng akhirnya meminta saudaranya, Sawerigading untuk mengawini sepupunya yang lebih cantik darinya yang berada di kerajaan Cina, bernama We Cudaiq. Dari perkawinan yang dipenuhi perang, darah dan airmata, lahirlah I Lagaligo. Pemuda tampan yang akhirnya menjalani kehidupan di Dunia Tengah (Bumi) dengan segala permasalahannya.

Pentas yang dikemas sangat apik, mulai dari tata panggung, lighting, musik dan kereo tari, serta adegan gerak minim dialog, mampu menghipnotis ratusan penonton hingga penghujung cerita. Mulai dari budayawan, tokoh, pemerhati seni, aktor kawakan, serta mahasiswa, semuanya larut dalam hening dari setiap adegan gerak/tari tanpa dialog, namun beranjak hidup tatkala musik tradisional seperti sinriliq, gandrang, serta suling mengalun syahdu maupun rampak. Kolaborasi pekerja seni dari Sulawesi, Jawa, bali dan Mancanegara. Tak mengherankan bahwa pementasan ini mendapat apresiasi dari berbagai negara setelah sebelumnya tampil di Amerika, Eropa, Asia dan Australia.

Menyaksikan pementasan teater kolosal ini memang mempunyai arti dan makna tersendiri. Perlu nalar dan feeling yang kuat untuk bisa mengartikan gerak, musik dan lalu lalang properti panggung yang tersaji di atas pentas.  Sangat jelas berbeda ketika kita menonton Drama Serial TV bertema cinta dan Azab, Drakor ataupun live Debat Kusir yang sekarang banyak menghiasi media TV nasional.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun