Eeeh, inget, begadangnya makin sering pula. Istri dan bos di kantor bisa makin sering uring-uringan.
So?
Dengan berandai-andai seperti di atas saja, kita sudah bisa membayangkan bahwa korban pertama tentu saja pemain. Lalu siapa yang akan mengambil keuntungan paling banyak? Ya tentu saja pemilik klub.
Apalagi klub yang menjadi inisiator, yang tentu saja akan berada di piramida pucuk dan bertahan lama. Ini karena emungkinan degradasi hanya 15 persen saja. Itupun takkan terlalu sulit untuk bisa cepat kembali lagi. Sementara yang di bawah, lagi-lagi harus berkeringat dan keluar duit lebih banyak.
Di sinilah tudingan keserakahan itu muncul. Maka, kalaupun inisatifnya dari UEFA (misalnya) perhitungan koefisien klub harus dijalankan agar tak ada klub gurem prestasi (hanya nama besar) yang ujug-ujug nangkring di piramid puncak.
Tapi bahkan jika insiatifnya dari UEFA pun, masih sangat banyak hal yang harus dipertimbangkan. Terutama soal kesejahteraan (fisik dan mental) pemain. Belum lagi soal lain yang hingga saat ini pun masih belum bisa diatasi seperti soal rasialisme hingga brutalitas sejumlah pendukung klub yang pastinya bisa makin meningkat seingin memanasnya persaingan nantinya.
Jangan lupa, di belakang sana, para pemilik bisnis perjudian dan tentu saja para pejudi kakapnya, juga ikut mencari kesempatan yang makin terbuka lebar. Malah bukannya tidak mungkin, kalau merekalah yang nantinya akan mengambil keuntungan paling banyak.
Atau, jangan-jangan, ide ini dari mereka juga?
Ah, jadi suudzon, dosa...