Mohon tunggu...
Alip Yog Kunandar
Alip Yog Kunandar Mohon Tunggu... Penulis - Bukan Pemikir, Meski Banyak yang Dipikirin

Dosen Ilmu Komunikasi UIN Jogja, yang lebih senang diskusi di warung kopi. Menulis karena hobi, syukur-syukur jadi profesi buat nambah-nambah gizi. Buku: Memahami Propaganda; Metode, Praktik, dan Analisis (Kanisius, 2017) Soon: Hoax dan Dimensi-Dimensi Kebohongan dalam Komunikasi.

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Mengenal Nilai Berita dalam Jurnalistik

3 Maret 2021   14:03 Diperbarui: 3 Maret 2021   14:17 8854
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Foto Ilustrasi: Balouriarajesh (Pixabay.com)

Sebagai pembaca berita, baik di media cetak (koran, majalah, tabloid) maupun berita online, tentulah kita tak akan membaca semua berita yang disajikan di media itu. Sadar tidak sadar, kita melakukan seleksi atas berita yang akan kit abaca tersebut.

Dalam hal itu, seleksi berita yang akan kita baca memang berdasarkan judul yang disajikan oleh penulisnya. Dari situlah, kita bisa menilai apakah berita itu 'harus' kita baca, 'perlu' kita baca, 'bolehlah' dibaca (jika senggang), atau bahkan 'tak usah dibaca.'

Di situ juga ada persoalan minat. Semenarik apapun berita politik misalnya, jika kita bukan penyuka urusan politik, kemungkinan besar kita akan melewatkannya. Tapi jika berita politik itu menjadi 'penting,' meskipun kita tak suka politik, ada kemungkinan kita akan membacanya, hanya untuk mengetahui apa yang terjadi. Dan itu biasanya berhubungan dengan kepentingan kita sendiri sebagai pembaca.

Sebagai contoh, anggap saja Anda tidak menyukai Presiden Jokowi. Segala berita yang berkaitan dengannya, tak  Anda pedulikan. Tapi apakah Anda yakin tetap tidak mau membaca jika ada berita yang menulis "Jokowi Mengundurkan Diri Sebagai Presiden"? Padahal mungkin beritanya adalah, Jokowi mengundurkan diri sebagai presiden di perusahaannya, bukan sebagai Presiden RI.

Ketertarikan kita sebagai pembaca pada sebuah berita, telah diamati oleh para penulis berita (penulis, wartawan, hingga pengelola keredaksian media massa) dan menyebutnya sebagai 'nilai berita' (news value).

Secara sederhana, nilai berita ini bisa dipahami sebagai 'nilai jual' sebuah berita. Dengan kata lain, berita yang memiliki daya tarik untuk pembaca. 

Sehebat apapun tulisannya, seserius apapun liputannya, jika tulisan atau berita itu tak menarik minat pembaca, tentulah sia-sia. Sebaliknya, bisa saja sebuah berita yang sebetulnya 'biasa' atau 'tak penting' malah disukai oleh pembacanya.

Dengan demikian bagi penulis/jurnalis, nilai berita ini bisa dilihat sebagai sebuah 'seni' menggabungkan informasi yang akan disampaikan kepada khalayak, dengan mempertimbangkan minat khalayaknya itu sendiri. Dan alangkah lebih baiknya jika bisa mempengaruhi pembaca yang tadinya tidak berminat menjadi berminat membacanya (seperti contoh di atas).

Ada banyak kategorisasi dalam menyebut nilai berita ini. Tetapi, ada kategori-kategori umum yang sudah dikenal dalam praktik jurnalistik, yaitu:

1. Magnitude (Besaran Peristiwa)

Kata kunci dari kategori ini adalah 'besaran.' Sesuatu yang 'besar' akan menarik minat pembaca tanpa mengenal jarak tempat antara lokasi peristiwa dengan lokasi si pembaca. Misalnya saja, peristiwa pesawat dengan banyak penumpang yang menghantam sebuah gedung perkantoran yang ramai, memiliki nilai magnitude, di manapun peristiwanya terjadi. 

Sebagai contoh, misalnya peristiwa 9/11 di AS. Meskipun Anda tinggal di pelosok desa di Indonesia dan tak punya 'urusan' dengan Amerika, Anda pasti sedikitnya tertarik untuk membaca dan mengetahuinya karena 'besarnya' peristiwa itu.

Magnitude juga sering dikaitkan dengan besaran angka. Pejabat negara sekelas bupati korupsi 1 Milyar untuk dipakai foya-foya, mungkin tak menarik perhatian pembaca. Paling hanya menarik pembaca di kabupaten itu saja. Tapi jika seorang mahasiswa membawa kabur uang 100 juta milik panitia acara kampusnya dan dipakai foya-foya, pembaca mungkin tertarik. Kenapa? Karena ada dua angka yang besarannya tak seimbang. Angka satu milyar untuk bupati, itu bisa dianggap tak telalu besar lagi. Tapi angka 100 juta untuk kegiatan mahasiswa, jelaslah sebuah angka yang sangat besar dan menimbulkan rasa penasaran.

2. Importance (Nilai Penting)

Kata kunci dari importance adalah 'nilai penting' dari peristiwa yang akan diberitakan. Di sini, harus diingat adanya lingkup media. Misalnya saja Kompas adalah media dengan cakupan nasional. Dengan demikian, nilai pentingnya juga berskala nasional. Misalnya saja, pengumuman naiknya tarif listrik atau BBM, pemberlakuan lockdown nasional karena Covid-19, dan sebagainya. Berita di Indonesia itu, tentu saja menjadi tak penting bagi pembaca di Malaysia atau negara lain, kecuali bagi mereka yang memiliki kepentingan tertentu.

Ada lingkup importance lain yang berdasarkan karakteristik media. Sebuah media yang khusus memberitakan tentang sepakbola, tentu saja tak menganggap kenaikan BBM itu penting untuk diberitakan, karena memang tak nyambung dengan urusan bola. Dalam media ini, mereka punya 'nilai penting' yang lain. Misalnya saja, Kylian Mbappe menandatangai kontrak dengan Liverpool. Ini bukan saja berita yang 'besar' tapi juga 'penting' dalam urusan sepakbola, karena efeknya akan berantai dengan perpindahan pemain-pemain lainnya.

3. Prominence (Keterkenalan)

Kata kunci dalam prominence adalah tokoh yang diberitakan haruslah dikenal oleh publik (khalayak medianya). Jokowi adalah tokoh prominence untuk lingkup Indonesia. Juga dengan artis Luna Maya misalnya. Apa yang dilakukan oleh orang-orang terkenal itu --penting tak penting---akan menjadi berita yang menarik bagi pembaca. Jangankan menandatangani keputusan presiden yang sangat penting, Jokowi naik sepeda pun bisa menjadi berita yang menarik. Luna Maya beli tas saja diberitakan. Kenapa? Bukan karena 'apa' tapi 'siapa'-nya.

Bandingkan saja sebuah berita, "Mobil Dinas yang Dikendarai Jokowi Mogok di Klaten," dengan "Mobil Sujarwo Mogok di Klaten." Pasti pembaca bertanya, siapa Sujarwo? Kalau berita itu dibaca kemudian tahu Sujarwo itu 'bukan siapa-siapa' pastilah anda jengkel dengan media yang memberitakannya.

4. Impact and Consequence (Dampak dan Konsekuensi)

Kata kunci dalam Impact and Consequence adalah 'akibat' dari peristiwa yang diberitakan. Tentu saja ini juga berkaitan dengan skala media (nasional, lokal, media olahraga, media musik, dll). Kenaikan BBM, selain 'penting' juga memiliki dampak, sehingga pasti menarik pembaca, terutama mereka yang memiliki kendaraan. Dalam konteks sepakbola lokal, pemberhentian Liga Indonesia juga memiliki dampak dan konsekuensi. Langsung untuk mereka yang terlibat dalam sepakbola, dan tak langsung bagi para penggemar. Kenaikan harga cabe, tak berdampak buat selebritis, tapi bikin pusing ibu-ibu. Dan sebagainya.

5. Timeliness (Kesegaran atau Kebaruan)

Timeliness tidak sama dengan aktual (terbaru). Aktual terkait dengan soal waktu pemberitaan (baru terjadi tadi, kemarin), sementara timeliness 'segar' dan 'baru' dengan karakteristik yang berbeda. Sebagai contoh, dalam konteks politik (khususnya di AS), Barack Obama menjadi presiden adalah sesuatu yang 'timeliness' karena ia adalah orang keturunan kulit hitam pertama dalam sejarah panjang Amerika. Di Indonesia, ya Megawati Soekarnoputri yang 'timeliness' karena presiden perempuan pertama di Indonesia. Besok, jika ada perempuan lain yang menjadi presiden di Indonesia, ia sudah tak lagi punya 'timeliness' karena sudah ada sebelumnya.

Nilai berita ini juga banyak ditemukan dalam berita-berita berkaitan dengan teknologi, misalnya pesawat komersial tanpa awak pertama, mobil nasional pertama, pesawat luar angkasa pertama buatan Indonesia, dan sebagainya.

6. Proximity  (Kedekatan)

Kata kunci dalam proximity adalah 'kedekatan' berita (subjek maupun objek berita) dengan pembacanya. Di sini ada dua, yaitu, satu, Physical Proximity (Kedekatan Fisik). Misalnya saja, Gunung Merapi meletus mungkin tidak menarik pembaca yang tinggal di Sumatera, tapi menarik minat pembaca di sekitar Jogja dan Jawa Tengah, apalagi yang tinggal di dekatnya, atau yang memiliki keluarga yang tinggal di sekitar situ. Kedua, Psychological Proximity (Kedekatan Psikologis). Misalnya, Barack Obama makan Nasi Goreng di Gedung Putih. Kenapa orang Indonesia tertarik? Karena Obama pernah tinggal di Indonesia, dan kedua, Nasi Goreng dianggap sebagai makanan orang Indonesia.

7. Conflict & Controversy (Konflik dan Kontroversi)

Berita yang mengandung konflik selalu menarik perhatian pembaca, apalagi jika ditambahi dengan persoalan proximity tadi. Konflik Palestina-Israel, selalu menarik perhatian pembaca di Indonesia, selain karena konfliknya, juga karena kedekatan psikologis orang Indonesia dengan Palestina karena kesamaan agama. Begitu pula dengan Konflik di Maluku, Poso, Sampit, dan sebagainya.

Begitupun dengan berita yang kontroversial. Misalnya, pemberitaan soal legalisasi ganja, legalisasi usaha miras, pembubaran ormas, dan sebagainya.

8. Sensation (Sensasi)

Berita sensasional biasanya dikaitkan dengan sesuatu yang 'luar biasa.' Misalnya orang Indonesia mendapatkan Piala Nobel. Tapi sebaliknya, bisa juga sesuatu yang biasa, tapi dibesar-besarkan. Misalnya saja perilaku nikah-cerai di kalangan artis. Ini sebetulnya hal biasa, tetapi karena dibesar-besarkan (dan terkait dengan soal prominence tadi) seolah menjadi 'luar biasa.' Begitupun misalnya dengan berita seorang lelaki tua beristri sembilan yang muda-muda dan cantik-cantik.

9. Unique, Novelty, Oddity, or Unusual (Unik, Berlebihan, Aneh, atau Tak Biasa)

Berita yang unik, berlebihan (lebay), aneh, atau tak biasa, meskipun tak memiliki nilai penting, selalu menarik pembaca. Misalnya saja, anak kambing berkepala tiga, anak yang suka makan obat nyamuk, pasien operasi yang ditemukan logam dalam perutnya, dan sebagainya.

10. Human Interest (Kemanusiaan)

Ini adalah berita yang bisa menyentuh sisi kemanusiaan pembacanya. Misalnya, penderitaan rakyat Rohingya, anak pemulung yang rajin membaca al-qur'an, nenek miskin yang pergi berhaji, dan sebagainya.

11. Sex, Crime, and Violation (Seks, Kriminalitas, dan Kekerasan)

Masih berkaitan dengan psikologi pembaca, berita yang berhubungan dengan seksualitas, kriminalitas, dan kekerasan, selalu menarik perhatian pembaca. Apalagi jika menggabungkan ketiganya, misalnya seorang perempuan diperkosa, disiksa, dan dibunuh.

Itulah kategori-kategori berita yang dianggap memiliki 'nilai jual' (baca: menarik) bagi pembacanya. Perlu dicatat bahwa, tidak semua kategori tadi berkaitan dengan fungsi media untuk mendidik, bisa jadi mengarah hanya pada sekadar menghibur, atau bahkan hanya mengejar keuntungan dengan menarik lebih banyak pembaca tanpa dipikirkan dampaknya bagi para pembaca itu sendiri.

Bagaimana dengan penulisan judul? Judul yang baik adalah judul yang bisa mengangkat salah satu dari nilai berita yang akan ditonjolkan oleh penulisnya.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun