Mohon tunggu...
Alip Yog Kunandar
Alip Yog Kunandar Mohon Tunggu... Penulis - Bukan Pemikir, Meski Banyak yang Dipikirin

Dosen Ilmu Komunikasi UIN Jogja, yang lebih senang diskusi di warung kopi. Menulis karena hobi, syukur-syukur jadi profesi buat nambah-nambah gizi. Buku: Memahami Propaganda; Metode, Praktik, dan Analisis (Kanisius, 2017) Soon: Hoax dan Dimensi-Dimensi Kebohongan dalam Komunikasi.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Mak Risma dan Anak-anak Bandelnya

15 Januari 2021   13:18 Diperbarui: 15 Januari 2021   13:37 186
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Dok. Pemkot Surabaya via Kompas.com

Saya bukan orang Surabaya. Tapi jaman kuliah di Makassar, dari kampung saya di Ciamis, Surabaya adalah kota persinggahan. Dari kampung naik bis atau kereta super-super ekonomi yang tidak ekonomis --tiket 27 ribu, di jalan hilang 200 ribu. Jaman itu, antara tahun 94-2000-an, rasanya, Surabaya itu kota paling jahiliyah (menurutku yo Rek, ojo tersinggung). Kayak masuk ke Texas jaman dulu di film-film koboy.

Sampai di terminal Bungurasih, bersiaplah menjaga dompet dan harta kekayaan lain yang sebetulnya tidak seberapa itu. Dompet dijagain, turun dari bis, kacamata yang raib. Terus naik bis kota ke Pelabuhan Tanjung Perak. Soal panas, nggak usah diomongin. Di Surabaya kayaknya nggak ada winter. Di bis kota, adegan thriller masih berlangsung.

Masuk kawasan pelabuhan, filmnya sudah mau masuk adegan klimaks. Bahkan sampe di kapal Pelni pun, suspence-nya belum beres, sebelum kapal melaju. Setelah di kapal? Pasukan antagonisnya sudah beda rombongan. Begitu pula sebaliknya kalau mudik dari Makassar via Surabaya.

Menyempatkan jalan-jalan di kota, mata meleng sedikit, klaksonnya beda dari tempat lain, bunyinya "Cuk!" dan saling bersahutan. Ngisi bensin motor lima ribu, isinya paling banter dua ribuan.

Duh. Sudahlah. Bagi saya, Surabaya bukan tempat tujuan wisata, waktu itu. Mlaku-mlaku neng Tunjungan, bukannya kenal sama anak bakul rujak cingur seperti lagu ciptaan Is Haryanto, tapi dipepet di gang sempit dipreteli segala yang bisa diangkut.

Sekian tahun berlalu, 2012 baru menginjakan kaki lagi ke Surabaya. Ada seminar dengan tujuan tambahan yang paling penting, menemui mantan (mantan teman kuliah maksudnya). Deg-degan. Bukannya karena mau ketemu mantan itu. Tapi karena pengalaman masa lalu yang tidak indah di kota itu.

Tapi kok beda? Di tempat-tempat angker seperti Bungurasih, tak ada lagi orang yang mepet-mepet, tangan kiri-kanan ditarik, dompet lenyap. Adem, tenang, peace deh. Di jalan, mau nyebrang jalan yang ramenya naudzubilllah, tinggal mencet lampu merah penyebrangan. Motor-mobil berhenti. Selamat sampai seberang. Tak ada lagi klakson yang bunyinya khas itu. Nongkrong malam-malam kok ayem-tentrem?

Selidik punya selidik, ya --katanya--- Walikota Surabaya saat itu yang memberesinya. Bu Risma. Beresnya bukan soal taman yang ditata dengan prinsip ekonomi, dengan modal sekecil-kecilnya untuk menghasilkan keuntungan sebesar-besarnya. Beneran kinclong. Perilaku orang-orang di jalanan juga beda. Itu bukan Surabaya yang saya kenal dulu.

2019 saya ke sana lagi. Dan makin jatuh hati. Ibarat gadis, dulu jerawatan dan giginya nggak beraturan. Setelah lama tak berjumpa, mendadak mulus dengan senyum yang manis menawan hati. Saya jatuh cinta, pada Surabaya.

Saya lalu membayangkan Bu Risma itu seperti emak-emak pada umumnya, bawel, cerewet, judes, galak, tapi sebetulnya baik hati. Apalagi kalau anaknya bandel. Mungkin Surabaya seperti itu. Sering dicereweti, diomeli, bahkan mungkin dijewer bila perlu.

Sebandel-bandelnya anak, sebagai mantan anak bandel, emak memang bukan untuk dilawan. Bukan soal kuat dan nggak kuat, tapi takut kualat. Segalak-galaknya emak sendiri, tak ada yang berani memecatnya. Buktinya, Mak Risma awet. Kalau saja jabatan walikota bisa seumur hidup kayak jabatan emak-emak dalam rumah tangga, mungkin dia tak tergantikan (mungkin lho ya!).

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun