Mohon tunggu...
Alip Yog Kunandar
Alip Yog Kunandar Mohon Tunggu... Penulis - Bukan Pemikir, Meski Banyak yang Dipikirin

Dosen Ilmu Komunikasi UIN Jogja, yang lebih senang diskusi di warung kopi. Menulis karena hobi, syukur-syukur jadi profesi buat nambah-nambah gizi. Buku: Memahami Propaganda; Metode, Praktik, dan Analisis (Kanisius, 2017) Soon: Hoax dan Dimensi-Dimensi Kebohongan dalam Komunikasi.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Sepatu-sepatu Mahal di Musim Hujan

5 Januari 2021   16:02 Diperbarui: 7 Januari 2021   05:50 717
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Gambar oleh LUM3N dari Pixabay

Sudah lebih sepuluh tahun saya tinggal di Jogja. Setelah tujuh tahun tinggal di Makassar yang panas, pindah ke Jakarta yang juga panas plus macet selama tujuh tahunan juga, pindah ke Jogja rasanya kepala langsung nyess... adem. Panasnya nggak terlalu, macet cuma musim liburan saja, banjir di musim hujan juga nggak pernah mengalami. Paling rada deg-degan dengan Merapi sudah batuk-batuk dan mulai hujan abu.

Tahun 2010 waktu Merapi kambuh, saya baru setahun di Jogja. Lumayan deg-degan juga waktu itu, kontrakan saya di Jl. Kaliurang KM (kilometer) 8 yang ujungnya berada di lereng Merapi sana.

Itungan 'KM' ini pernah disalahartikan oleh seorang jurnalis TV yang pastinya bukan orang Jogja. Dia mengira semakin kecil 'KM' semakin dekat dengan Kaliurang yang memang di lereng Merapi sana. Jadi kalau saya di KM 8, seolah 8 km dari Kaliurang. 

Padahal kebalik. Titik Nol-nya di kota Jogja, bukan di Kaliurang. Sama dengan jalan-jalan lain yang menyebut titik akhir seperti Jalan Magelang, Jalan Wates, Jalan Wonosari, Jalan Godean. 

Nah, si reporter ini melaporkan dari Jalan Kaliurang KM 10, dia berpikir dia berjarak 10 km dari Kaliurang. Jika Jalan Kaliurang itu 25 km, ia sebetulnya berada 15 km dari Kaliurang.

Bukan itu saja, dia juga mengira Kaliurang itu di puncak Merapi. Padahal, dari Kaliurang ke puncak itu masih 7 km, artinya dia masih berada 22 km dari puncak. Waktu dia melaporkan, zona bahaya Merapi baru diperluas menjadi 14 km. Jadi sebetulnya, dia masih cukup aman. 

Celakanya, entah karena lebay ingin melaporkan yang 'ekslusif' atau ketidaktahuan yang parah (karena tidak mencaritahu), ia menyebut --dalam laporan langsungnya itu---awan panas yang dikenal dengan sebutan wedhus gembel itu. 

Lah, padahal, awan panas tidak sama dengan hawa panas yang dia rasakan. Ia hanya merasakan hawa yang panas, bukan terkena awan panas.

Kalau ia terkena awan panas ia bakalan "lewat". Nggak bakalan bisa bikin laporan langsung. Wong si wedhus gembel yang ditakuti penghuni Merapi itu bisa mencapai 1000-an derajat celcius! Mbah Maridjan, juru kunci Merapi yang terkenal itu, juga menjadi salah satu korbannya.

Gara-gara kekonyolan laporan itu, saya ditelepon kiri-kanan, terutama mertua di Jakarta, karena merasa tempat tinggal saya sangat dekat. Memang dekat, tapi sebetulnya masih cukup aman. Hanya hujan abu saja yang cukup tebal.

Hujan abu itu pulalah yang akhirnya membuat saya menyerah. air PAM yang mengalir ke rumah kotor, padahal anak saya masih bayi. Terpaksa saya mengantarkan anak-istri mengungsi ke Jakarta. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun