Mohon tunggu...
Alip Yog Kunandar
Alip Yog Kunandar Mohon Tunggu... Penulis - Bukan Pemikir, Meski Banyak yang Dipikirin

Dosen Ilmu Komunikasi UIN Jogja, yang lebih senang diskusi di warung kopi. Menulis karena hobi, syukur-syukur jadi profesi buat nambah-nambah gizi. Buku: Memahami Propaganda; Metode, Praktik, dan Analisis (Kanisius, 2017) Soon: Hoax dan Dimensi-Dimensi Kebohongan dalam Komunikasi.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Sepatu-sepatu Mahal di Musim Hujan

5 Januari 2021   16:02 Diperbarui: 7 Januari 2021   05:50 717
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Gambar oleh LUM3N dari Pixabay

Saya sendiri langsung balik ke Jogja, karena di kampus sudah mau UTS yang ternyata ditunda. Tapi Jogja baik-baik saja. Sehari ditinggalkan, di sekitaran kota pedagang angkringan sudah pada buka lagi. 

Apalagi abu Merapi lebih banyak mengarah ke Magelang, Boyolali, dan Klaten. Jogja relatif 'bersih.' Justru saat Gunung Kelud di Kediri yang meletus tahun 2013 lah Jogja yang kepayahan, diguyur hujan abu lebat.

Soal hujan, bukan hujan abu ya, ada kebiasaan yang menurut saya konyol yang banyak saya lihat dilakukan orang di Jogja. Tentu tidak semua ya, hanya sebagian kecil saja. Tapi ini sangat mencolok ketika musim hujan tiba, dan terutama pada jam kerja. Saya juga tidak tahu apa perilaku ini juga banyak dilakukan di tempat-tempat lain. Kebiasaan itu adalah bertelanjang kaki alias nyeker saat berkendara sepeda motor saat hujan. Duh, ngilu saya melihatnya.

Foto detik.com
Foto detik.com

Biasanya, mereka yang melakukannya adalah kaum pekerja yang harus 'mengamankan' sepatunya agar tetap kering saat tiba di tempat kerjanya.

Memang, tidak enak rasanya kerja seharian di kantor dengan sepatu basah kuyup. Tapi, kenapa nggak pake sepatu pengganti untuk berkendara, sepatu bot, misalnya. Atau kalau tak punya, minimal sandal beralas tebal, atau minimal lagi, sandal jepit deh...

Lupa? Okelah. Tapi apa iya segitu sayangnya dengan sepatu sehingga harus mengamankannya di bawah jok motor agar tetap hangat dan kering, sementara kaki disuruh telanjang mengadang bahaya di jalanan yang tidak terduga? Atau harga sepatunya yang sangat mahal sehingga lebih mahal daripada kakinya sendiri? Saya nggak habis pikir...

Saya pernah melihat seorang ibu mengendarai motor matik. Di perempatan, sebutannya, bangjo --abang-ijo, alias traffic light bin lampu merah, ia telanjang kaki.

Waktu itu memang hujan lebat dan jam berangkat kerja. Si Ibu mengambil tempat di pinggir dekat trotoar menunggu lampu hijau. Saat mulai jalan, kaki telanjangnya yang bertumpu di pinggir trotoar terantuk sesuatu, robek dan mengeluarkan darah. Ia berhenti. 

Saya juga menepi untuk membantunya karena pas berada di belakangnya. Saya menyarankan untuk mencari plester untuk menutup lukanya, atau setidaknya memakai sepasang sepatunya yang digantung dalam kantong kresek.

Tapi dia bilang, "Nanti aja di kantor Mas, sudah dekat kok!"

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun