Mohon tunggu...
Alip Yog Kunandar
Alip Yog Kunandar Mohon Tunggu... Penulis - Bukan Pemikir, Meski Banyak yang Dipikirin

Dosen Ilmu Komunikasi UIN Jogja, yang lebih senang diskusi di warung kopi. Menulis karena hobi, syukur-syukur jadi profesi buat nambah-nambah gizi. Buku: Memahami Propaganda; Metode, Praktik, dan Analisis (Kanisius, 2017) Soon: Hoax dan Dimensi-Dimensi Kebohongan dalam Komunikasi.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Stalin: (27) [Bukan] Cita-cita

23 Desember 2020   06:06 Diperbarui: 24 Desember 2020   23:22 365
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
WPAP By Alip Yog Kunandar

Episode Awal: (1) Soso

Episode Sebelumnya: (26) Wacana Versus Seni

*****

Karir seni Soso lumayan bagus, meski juga tidak menanjak. Sebagai anggota paduan suara, ya ada aja lah penghasilan tambahannya. Gedung teater Tiflis lama kelamaan seperti aula latihan paduan suara di dalam kompleks seminari saking akrabnya. Soso bahkan sudah nyaris hafal detail dekorasi yang ada di dalam gedung itu. Tapi tentu saja itu bukan sesuatu yang bisa diandalkannya di masa depan nanti. Namanya juga paduan suara sekolah, besok kalau sudah lulus ya dia akan meninggalkannya, nggak mungkin akan di situ selamanya. Mau solo karir juga kayaknya nggak bisa dimulai dari sekarang, saat ia masih terikat dengan kegiatan sekolah.

Lain halnya dengan 'karirnya' sebagai penyair. Soselo, nama pena kepenyairannya, mulai mendapatkan tempat pada pecinta sastra Georgia. Siapa lagi yang punya andil besar kalau bukan Pangeran Ilia Chavchavadze, bangsawan Georgia yang terlihat lembut tapi memiliki nasionalisme yang sangat kuat itu. Sudah lima puisi Soselo alias Soso yang dimuat di Iveria. Selain puisi pertamanya, dua puisinya yang ditulis di Gori saat liburan singkat itu, Kepada Bulan dan Si Tua Ninika, termasuk di antaranya.

Pangeran Ilia sangat menyukai Si Tua Ninika. Ia memuji bibit nasionalisme Soso yang katanya tergurat sangat jelas dalam puisi itu. Ada kritik mengenai kondisi saat ini, dan harapan di masa depan. Soso tak menyangka kalau Pangeran Ilia selain konsen dengan sastra, juga memiliki perhatian dalam pada persoalan agraria, khususnya soal kepemilikan lahan. "Kita mulai dijebak untuk menjadi buruh tani di tanah kita sendiri..." kata Pangeran Ilia ketika Soso menyempatkan mampir ke tempatnya untuk mengambil honor puisi. "Kita dijebak dengan utang, lalu kehilangan tanah kita, dan setelah itu kita terpaksa menjadi buruh dengan menggarap tanah yang dulu kita miliki. Penghasilannya dari belas kasihan, bukan dari apa yang dihasilkan dari tanah itu..." lanjutnya.

Soso terpana. Apa yang disampaikan Pangeran Ilia itu sudah lama berkecamuk di dalam kepalanya. Mungkin itulah yang secara tidak sadar ia tuliskan dalam puisinya, meski meminjam nasib buruk Si Tua Ninika, orang 'gila' di kampungnya sana.

"Bagaimana kamu bisa melihat persoalan itu di usiamu yang masih belasan dan hari-harimu terkungkung di tembok seminari dan dipagari doktrin-doktrin gereja?" tanya Pangeran Ilia.

Soso menggeleng, "Saya juga tidak mengerti Tuan. Tapi itu memang terjadi di kampung saya di Gori..."

"Tapi bagian akhir puisimu menyiratkan optimisme, seolah kita akan kembali seperti dulu lagi, mengontrol lahan dan nasib kita sendiri?"

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun