Mohon tunggu...
Isa Alïmusa
Isa Alïmusa Mohon Tunggu... -

I walk like a cat on a hot tin roof. Cautiously. Some say it's easy, some say it's not. I think it's not. I do my best not to fall.\r\n\r\n"What is the victory of a cat on a hot tin roof? - I wish I knew... Just staying on it, I guess, as long as she can" \r\n(Tennessee Williams)\r\n\r\n

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Kartu Pos Jadoel “Mooi Indië”

15 Agustus 2011   22:39 Diperbarui: 26 Juni 2015   02:45 471
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Sewaktu Indonesia masih bernama Hindia Belanda, kartu pos (bergambar) menjadi satu-satunya medium yang memperlihatkan keanekaragaman Kepulauan Nusantara bagi orang asing. Gambar-gambar kota, pemandangan, arsitektur, potret, dan aspek-aspek kehidupan menjadi berita yang ditunggu-tunggu. Dewasa ini, kartu pos hampir tidak ada harganya lagi dan seringkali hanya sepintas dilihat lalu dibuang begitu saja.

Perangko di Indonesia sudah mulai dikenal sejak 1864, sedangkan kartu pos masih menjadi barang langka dan baru mulai populer puluhan tahun kemudian. Jawatan Pos mulai menerima sarana baru surat-menyurat ini pada 1893. Alasan penolakan kartu pos sebetulnya sederhana. Orang curang menggunakan perangko beberapa kali karena tinta stempel pos yang digunakan waktu itu tidak tahan air dan mudah dihapus.

Memproduksi kartu pos termasuk kegiatan yang rumit, terutama reproduksi foto memakan waktu lama dan intensif. Keterbatasan dana menjadikan orang lebih kreatif dan menggunakan segala cara untuk mencetak kartu pos. Misalnya, dengan mewarnai secara manual sebelum sablon lazim digunakan atau menggabungkan beberapa gambar menjadi kartu panorama .

Perkembangan teknologi percetakan di sekitar 1890-1900 membuat kartu pos dikenal semakin luas. Kartu-kartu ini dibuat dengan tema-tema dan nomor seri tertentu hingga mencapai 30.000 desain. Jumlahnya diperkirakan lebih banyak lagi, mengingat cukup banyak kartu-kartu yang dicetak secara anonim.

Di samping itu, masih ada beberapa percetakan berskala kecil yang mengeluarkan edisi khusus untuk reklame perusahaan tertentu, seperti jaringan hotel dan pelayaran serta  –  cukup unik – misi-misi keagamaan dari Jerman. Ada juga seniman-seniman dan ilustrator yang membuat kartu pos untuk sedikit meningkatkan penghasilan mereka.

Kartu-kartu yang dulu dicetak di Eropa – terutama dari Jerman – kebanyakan dibawa dan didistribusikan oleh misionaris yang ditugaskan di daerah-daerah koloni  tropis. Sejauh ini, belum ada bukti akurat mengenai sejak kapan kartu-kartu pos itu mulai dicetak di Indonesia. Penerbit G. Kolff & Co sering disebut sebagai percetakan perintis kartu pos sekitar tahun 1900-an di Indonesia.

Di zaman pemerintahan Belanda, kartu-kartu bergambar ini menjadi bukti pertama dan sajian nyata rangkaian pulau-pulau di Hindia Belanda untuk keluarga di daratan Eropa. Selain dikirim langsung melalu kantor pos, kartu-kartu ini juga mulai dijual di negara (kolonisator) bersangkutan.

Kartu pos bergambar ini dikirim tidak saja sekedar untuk saling bersapa, tapi juga menjadi barang koleksi berharga yang dikumpulkan di album-album dan diperlihatkan di acara-acara keluarga. Orang tidak perlu lagi bepergian jauh untuk mengumpulkan kartu-kartu pos ini. Koleksi pribadi memperlihatkan tema-tema yang disukai waktu itu seperti alat transportasi, pakaian tradisional, jembatan dan lansekap, bahkan cap dan stempel pos.

Pada 6 Januari 1905, di surat kabar Bataviaasch Nieuwsblad terbit sebuah artikel mengenai sejarah singkat kartu pos. Heinrich von Stephan, Menteri Pos dan Telekomunikasi Jerman, dianggap sebagai pencetus pertama kartu pos pada 1869. Idenya dikembangkan lebih lanjut oleh Emmanuel Hermann di sebuah akademi militer di kota Wina, Austria.

Jawatan pos di Austria mulai mencetak ‘kartu korespondensi’ berdasarkan konsep Emmanuel Hermann pada 1 Oktober 1869. Kartu korespondensi standar waktu itu – berbeda dengan kartu pos yang kita kenal sekarang – biasanya dibuat kosong tanpa gambar. Hanya letak tempat untuk menempelkan perangko di sudut kanan atas dan alamat, serta ruang untuk menulis tidak berubah.

Kartu-kartu ini mendapat sambutan positif masyarakat. Dalam waktu tiga bulan, tiga juta eksemplar laku keras. Sukses (finansial) ini mulai ditiru di negara-negara sekitar Austria. Belanda mulai mengadopsi tren ini sekitar tahun 1871. Hindia Belanda pun tak ketinggalan, terutama untuk kepentingan mengiklankan sebuah perusahaan, walaupun dilakukan secara diam-diam dan di lingkungan yang terbatas karena masih dilarang.

Barulah ketika ketentuan terkait pos diperbaharui pada 1872, orang mulai menyukai kartu-kartu  korespondensi berilustrasi, termasuk di Hindia Belanda. 18 Desember 1892, di koran terbesar di Batavia Java Bode tercantum advertensi sebagai berikut: “Penerbit dan toko buku Visser & Co menjual kartu-kartu pos bergambar Batavia dan Buitenzorg. Cara mudah berkirim salam dengan handai taulan”.

Kartu-kartu ini dipesan di Berlin, Jerman, dan didistribusikan oleh perusahaan Visser & Co di Jakarta dan Mühnickel di Buitenzorg (Bogor) seharga 10 sen. Kartu-kartu baru dilengkapi ilustrasi ini mendapat sambutan hangat masyarakat. Sayang, kantor pos lokal waktu itu masih belum biasa menerima kartu bergambar ini dan kartu korespondensi jenis baru ini sering ditolak.

Ketika dominasi Jerman di dunia percetakan dan litografi berangsur-angsur menurun, Belanda mulai mengadaptasi teknik reproduksi dan mencetak foto di atas kertas. Teknik baru ini pun mulai diperkenalkan di Indonesia. Kartu pos tidak perlu lagi diimpor dari Eropa dan dapat diproduksi di Indonesia.

Ilustrasi kartu pos pun semakin bervariasi. Jakarta dan Bogor tidak lagi menjadi sajian utama di kartu-kartu bergambar. Orang mulai tertarik dan mulai mengapresiasi seluruh pulau-pulau di Nusantara (dulu disebut Insulinde) mulai Aceh hingga Papua dengan ciri khasnya  masing-masing, kendati kerap tidak luput dari badan sensor.

Gambar  patung Buddha di Candi Borobudur sebagai ucapan Selamat Tahun Baru misalnya menyebabkan penerima kartu tersebut di Belanda harus membayar 7,5 sen ekstra. Gambar Buddha tanpa pakaian waktu itu dianggap tidak senonoh. Seringkali, teks-teks yang tertulis di kartu-kartu pos juga disensor sebelum sampai ke alamat tujuan di Belanda.

Sebagian besar ilustrasi kartu pos itu berasal dari reproduksi foto dan kebanyakan memperlihatkan ‘keberhasilan’ dan kehidupan ‘modern’ di daerah koloni. Secara tidak langsung, kartu-kartu pos ini menunjukkan prestasi kolonialisme yang sudah dicapai Eropa di wilayah jajahannya. Gambar-gambar seperti monumen, teater, dan pabrik-pabrik melukiskan kemajuan-kemajuan di Hindia Belanda.

Introduksi kamera Kodak di tahun 1890 menyebabkan banyak fotografer (amatir) bermunculan. Juru-juru foto anonim ini banyak meniru gaya fotografer profesional dan karya mereka pun sering dipakai di produksi kartu-kartu pos. Potret keluarga mulai dijumpai sebagai bagian kartu pos seri dengan gambar pasangan pengantin, pengasuh anak, penjaja keliling, penyanyi atau penari terkenal dan sebagainya.

Pangsa pasar kartu pos berkembang pesat dan harganya pun secara bertahap mulai turun. Awalnya, kartu-kartu itu berharga sekitar 10 sampai 15 sen per buah. Penerbit Visser & Co pada 1899 menawarkan koleksi 43 kartu bergambar Jakarta, Bogor, Tanjung Priok, dan Serang dengan harga 5 sen per lembar atau komplit di kotak karton seharga 2,25 gulden.

Selain koran, kartu pos menjadi barang yang lumrah dijumpai sehari-hari dan makin mudah dibeli di toko-toko buku dekat stasiun-stasiun (kereta) di Bogor, Cianjur, Cibatu, Garut, Maos, Gombong, Kutoarjo, Purworejo, dan Yogyakarta. Kantor pos, toko-toko dan restoran pun mulai menjual komoditi baru ini dengan komisi dari penerbit atau percetakan tertentu.

Harian Bataviaasch Nieuwsblad pada 7 November 1903 melaporkan: “Tahun 1902 jumlah sirkulasi kartu pos di seluruh dunia diperkirakan sekitar 900 juta buah – tidak termasuk di Asia dan Afrika. Jerman menempati posisi teratas dengan 400 juta kartu, Perancis menyusul dengan 88 juta, Austria dan Swiss masing-masing 31 juta, Italia 27 juta, Spanyol 19 juta, Inggris 14 juta, Belgia dan Belanda secara kolektif 12,5 juta, Amerika Utara dan Selatan 100 juta.”

Setiap tahun, seri-seri baru kartu pos terus bertambah. Album-album khusus yang dapat diisi hingga 600 lembar kartu pos mulai dicetak. Bagaimana nasib kartu-kartu langka ini sekarang? Kini, koleksi-koleksi kartu pos banyak disimpan di museum dan gedung-gedung arsip kota di Belanda. Sisanya, ada di tangan pengoleksi atau partikelir.

Amsterdam, 16 Agustus 2011

Sumber:“Indonesië, 500 oude prentbriefkaarten”, Leo Haks dan Steven Wachlin, Penerbit Atrium, Rijswijk, 2005

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun